Sunday, August 19, 2007

MENJADI LEGENDA (bagian I)


Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan. (II Korintus 3 : 17)


Dalam Kamus Bahasa Indonesia tertera arti legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah.

Dalam bahasa dan pemikiran saya “melegenda” (menjadi legenda), berkaitan dengan peristiwa atau kisah terkenal, menjadi peristiwa bersejarah yang dikenang banyak orang, diceritakan turun temurun, berhubungan dengan perjuangan, kepahlawanan, sesuatu yang heroik, hebat, berguna dan dirasakan semangatnya hingga sekarang dan sebagainya.

Saya tidak tahu ada berapa banyak manusia di dunia ini yang bercita-cita menjadi LEGENDA. Dalam sebuah film yang saya tonton, diceritakan seorang laki-laki yang memilih mengaku menjadi seorang legenda tokoh kriminal Sommersby dan mati karena hukuman gantung, ketimbang menjadi diri sendiri, namun tidak terkenal (bukan siapa-siapa) -walaupun ada kesempatan baginya selamat dari hukuman mati asal dia mengaku bukan tokoh jahat itu. Lebih baik mati dan dikenang daripada hidup namun tidak menjadi apa-apa.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak pula manusia yang berkata “Saya ini bukan siapa-siapa, I’m nobody” atau “Saya tidak berambisi menjadi sesuatu, semua dijalani biasa-biasa saja.” Untuk golongan manusia saya membaginya menjadi dua jenis, yang Pertama justru merekalah orang-orang yang punya prestasi besar, cerdas, berbakat dan hebat dan itu sebuah cara untuk “merendah” atau Kedua bisa juga merupakan kesombongan tersembunyi oleh karena lebih suka mendapat pujian dobel. Sebab setelah pendengar mengetahui bahwa mereka hebat, maka yang muncul adalah hebat kuadrat he..he. dan mereka mendapat pujian dua kali lipat.

Golongan yang lain, adalah orang yang memang merasa bukan siapa-siapa, tidak punya motivasi entah karena malas, tidak semangat atau sedang mengalami kekecewaan yang parah sehingga kalimat-kalimat itu saya artikan sebagai kalimat yang keluar dari pribadi apatis. Bahkan ada juga beberapa orang yang berkata, “ Saya tidak akan jadi apa-apa.”

Terkait dengan hal itu, saya baru membaca sebuah tulisan yang mengangkat kisah WR Supratman- pengarang lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Lagu kebangsaan dapat dikatakan sebagai identitas sebuah negara, selain lambang negara dan bendera. Cara menyanyikan lagu kebangsaan tiap-tiap negara punya ciri masing-masing. Ada yang menempelkan telapak tangan kanan nya ke dada sebelah kiri, agar merasakan denyut janyung masing-masing diri di alam kemerdekaannya. Ada pula yang mengepalkan tangan kanannya membentuk sebuah tinju dan ditempelkan ke dada sebelah kirinya.

Untuk Indonesia, biasanya cukup berdiri dengan sikap sempurna. Jika memakai topi atau peci, biasanya sambil memberi hormat, ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan tempo mars. Sedangkan jika tidak memakai topi, wajib bersikap sempurna dan dengan gagah menghadap ke depan.

Lagu Indonesia raya tidak diperkenankan dinyanyikan dengan suara satu, dua, tiga dan empat layaknya koor. Lagu Indonesia Raya harus dinyanyikan dengan satu suara dan penuh semangat. Lagu Indonesia Raya tidak diperkenankan dinyanyikan dengan bertepuk tangan atau berjoget.

Pikiran saya menerawang, apakah WR Supratman dulunya pernah membayangkan bahwa lagu ciptaan nya akan menjadi terkenal dan tersohor di dunia, karena dipakai sebagai lagu kebangsaan sebuah negara yang berdiri tahun 1945? Atau berapa lamakah proses pembuatan lagu ini, apakah beliau begadang berhari-hari ataukah dalam satu malam sudah jadi.

Tidak banyak orang, khususnya generasi muda yang mengetahui siapa Wage Rudolf Supratman. Padahal namanya dipakai dimana-mana, ada nama jalan, ada pula nama sekolah dan sebagainya. Bahkan seringkali dalam upacara-upacara resmi tidak pernah terlintas dalam diri kita untuk mengenang pengarangnya, yang karyanya tercatat sebagai momen penting dan bersejarah dalam perjalanan berdirinya suatu bangsa. Padahal selain sebagai pencipta lagu kebangsaan yang selalu dinyanyikan, Supratman juga seorang Pahlawan Nasional, penerima Bintang Mahaputra Anumerta III pada tahun 1961.

WR Supratman yang dilahirkan di Jatinegara Jakarta Tanggal 9 Maret 1903, juga seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sebab sejak mudanya beliau sudah akrab bergaul dengan kaum pergerakan atau pejuang kemerdekaan.

Ketika dilahirkan beliau diberi nama Supratman. Nama Wage menurut wetonan atau hari lahir berdasarkan kalender Jawa, dan nama Rudolp adalah pemberian abang iparnya HM Van Eldik, suami dari kakaknya yang tertua Roekijem Soepratijah. Jadi lengkapnya Wage Rudolp Supratman. Nama ini diperlukan agar dia bisa diterima di sekolah Belanda (ELS atau Europeesche Lagere School)

Namun beliau tidak lama di sekolah ini, karena kemudian ketahuan bahwa dia bukan anak seorang berpangkat dan bukan pula anak kandung Van Eldik. Jadi bukan langsung keturunan Belanda. Tapi selama ikut dengan kakaknya di Makassar, dia tertarik pada soal-soal politik, soal perjuangan, soal kemerdekaan, dan diapun rajin menghadiri rapat-rapat atau ceramah-ceramah yang diadakan kaum pergerakan.

Apalagi setelah dia mengetahui bahwa nenek buyutnya adalah pengikut atau perwira dari pasukan Pangeran Diponegoro yang berperang melawan Belanda. Ketika kembali ke Jawa, terutama di Kota Bandung, Jakarta dan Surabaya dia turut aktif dalam aktivitas kaum pergerakan. Dia malah menjadi wartawan surat kabar “Kaum Muda” kantor berita Alpena dan terakhir wartawan harian Sin Po.

Beliau dikenal sebagai wartawan militan yang rajin menghadiri dan meliput rapat-rapat partai politik, antara lain PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Parindra (Partai Indonesia Raya). Tulisan dan kritiknya terkenal tajam menyoroti kepincangan-kepincangan pemerintah kolonial Belanda. Tak heran jika beliau jadi incaran PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau polisi rahasia kolonial Belanda.

Selain itu Supratman juga seorang seniman, baik seniman pencipta lagu (komponis) maupun sastrawan. Cukup banyak lagu yang diciptakannya yang semua bernada perjuangan, membangkitkan semangat bangsa Indonesia seperti lagu Mars KBI, Mars Surya Wirawan, Parindra, Di Timur Ada Matahari, Ibu Kita Kartini, Dari Barat sampai ke Timur dan yang terpenting Indonesia Raya yang kemudian resmi menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Memang benar lagu ini tadinya terdiri dari tiga stanza, tapi yang resmi menjadi lagu kebangsaan adalah stanza I. Lagu ini untuk pertama kali diperdengarkan di hadapan publik adalah pada Konggres Pemuda II 28 Oktober 1928 dan mendapat sambutan luar biasa dan langsung diputuskan dalam konggres tersebut sebagai lagu kebangsaan bangsa Indonesia.

Sebagai sastrawan Supratman sudah mengarang roman yakni Perawan Desa, Darah Muda dan Kaum Fanatik. Meskipun namanya sangat terkenal sebagai komponis, pejuang dan wartawan namun dari segi materi dapat dikatakan miskin, gajinya sebagai wartawan 35 gulden per bulan, sama sekali tak mencukupi. Penghargaan yang diterimanya setelah Indonesia merdeka, tidak dapat dinikmatinya karena WR Supratman jatuh sakit dan meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938 di Surabaya. Tidak meninggalkan keturunan. Tidak juga mewariskan kekayaan materi. Itulah pejuang!
Apakah memang untuk menjadi LEGENDA, seseorang harus mengalami kesendirian?

dari berbagai sumber

The sound of NASIONALISME


biar saja ku tak seharum bunga mawar
tapi slalu kucoba tuk mengharumkanmu

Merah Putih terus lah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi
di Indonesia ku ini
ku kan slalu menjagamu

demi kehormatan bangsa
demi tumpah darah semua pahlawan

Barangkali Nasionalisme itu bagaikan menonton film Sound of Music. Film legendaris yang berkali-kali saya tonton sepanjang hidup saya, tapi tetap saja memunculkan makna baru, kesan lebih mendalam atau juga makna yang lain, yang mungkin agak berbeda tergantung waktu dan kondisi kita pada saat menonton.

Dulu sewaktu anak-anak, saya menganggap film ini menyenangkan, karena di sepanjang film banyak kejadian lucu, pemainnya anak-anak, permainan lagu yang mengesankan terutama lagu do re mi yang terkenal di dunia. Beranjak remaja, saya menganggap film ini cerita romantis-saat anak gadis Kapten Von Trapp punya kekasih yang tentara. Bahkan seorang teman saya-saking terkesannya malah pernah menghayal bernasib seperti Mary Von Trapp, seorang suster yang keluar dari biara karena menikah dengan duda ganteng dengan anak-anak yang nakal, seperti dalam cerita itu. Wealaaaaahhhh!

Saat kuliah saya menyaksikan film ini sebagai karya musik yang luar biasa, tidak saja pada zamannya, namun hingga kini- sehingga timbul ide membuat semacam opera yang lagu-lagunya dimodifikasi berdasarkan musik film tersebut. Hasilnya? Lewat begadang selama sebulan lahirlah opera paskah di kampus-dengan saya sebagai penulis merangkap sutradaranya, menjadi tontonan dan kenangan manis pada acara peringatan paskah sekitar tahun 89-an.

Dan pada kelanjutannya, setelah berkali-kali menonton barulah saya menyadari bahwa film ini memuat pesan pendidikan politik, sebuah sejarah besar, sebuah kesetiaan dan perjuangan membela negara, membela kehormatan harga diri dan bangsa, sebuah strategi perang cerdik, sebuah contoh pengkhianatan, sebuah ketulusan, keberanian, kerelaan, keimanan, sebuah kesadaran kepahlawanan, seperangkat pesan dan ajaran menjadi nasionalis sejati, sehingga wajar menurut saya jika setiap orangtua wajib menyimpan film “lama” ini sabagai koleksi karena film ini memuat lengkap segala hal baik.

Nasionalis secara umum diartikan sebagai orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya, pecinta nusa dan bangsa sendiri. Sedangkan Nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa, diartikan juga sebagai semangat kebangsaan.

Menjelang Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2007, berbagai media mempertanyakan tentang nasionalisme bangsa, dengan mengungkapkan beberapa fakta penurunan kualitas kebangsaan.

Seberapa ingatkah kita akan pengalaman memperingati kemerdekaan dari tahun ke tahun? Mari kita kembali ke film Sound of Music. (bersambung).
Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)