Tuhan tidak pernah menyuruh kita untuk
mengulang-ngulang kesakitan dan penderitaan kita
Minggu terakhir di Bulan Oktober saya mendapat banyak pengalaman positif dari maki-makian orang di sekeliling saya. Ada yang marah kepada saya karena saya dianggap mengkritik terlalu pedas, ada yang marah pada saya karena tidak diloloskan masuk sebagai anggota PPK (panitia pemilihan kecamatan untuk pemilihan umum gubernur) ada yang marah pada saya karena tidak diberi THR (darimana pula duitnya), ada yang marah pada saya karena diperlakukan tidak adil, bahkan sahabat baik saya-seorang pejuang perempuan, membanting telepon dan mengusik ideologi dan keberpihakan saya terhadap perempuan hanya karena saya tidak mengikutkannya sebagai anggota PPK!!!
Pada saat mereka marah, saya mulai menyadari sifat asli mereka, ternyata begitu banyak orang yang berprilaku berlawanan seperti yang selama ini saya lihat atau saya asumsikan. Contohnya seorang teman dekat saya, perempuan, pernah menjadi pengurus sebuah partai bahkan menjadi calon legislatif pada Pemilu 2004. Dia cerdas, berani, seorang pejuang, tukang lobby yang oke, pembela rakyat miskin, keberpihakan nya pada perempuan tidak diragukan lagi, sarjana hukum, seorang ibu yang penuh kasih sayang. Sekarang dia menjadi PNS di Pemerintahan Kota Siantar.
Pasalnya dia melamar menjadi anggota PPK, untuk membantu KPUD dalam pemilu gubernur april 2008 nanti. Dalam persyaratan uu penyelenggara pemilu No. 22 yang baru terbit 2007, ada salah satu syarat mengatakan bahwa untuk menjadi anggota PPK adalah tidak menjadi anggota partai politik atau sekurang-kurangnya tidak menjadi anggota partai politik minimal 5 tahun.
Nah teman saya ini ngotot mengatakan toh dia bukan anggota partai politik lagi-karena sudah jadi PNS, dia satu-satunya perempuan yang melamar, sementara ada syarat keterwakilan perempuan 30%,jadi kenapa dia tidak diloloskan menjadi anggota PPK???!!!!
Teman saya ini memaki saya di handphone dan jelas-jelas mengatakan dia berkurang respeknya terhadap saya yang "katanya" pejuang perempuan. Seharusnya saya membela dia dalam rapat pleno KPU bukannya malah ikut dalam keputusan mencoret dia 4:1, seharusnya saya memformasikan diri dalam keputusan 2:3 jadi even dia tetap dicoret-dia senang karena sebagai teman saya membelanya.
Deg! tiba-tiba kepala saya pusing, jantung saya berdenyut keras seolah ada yang menusuk disana. Dengan masih mencoba bersabar, saya terima dan tanggung kekesalan hatinya. Saya tidak mau munafik membela dia hanya untuk menyenangkan hati seorang kawan. Saya katakan mohon dimengerti karena keputusan saya adalah karena pertimbangan saya sendiri, bukan karena dia tidak layak, bukan karena dia tidak memenuhi syarat, bukan karena tidak memihak perempuan, tetapi ini hanya persoalan administratif dan keyakinan saya akan syarat undang-undang yang baru. Seharusnya teman saya ini sadar bahwa sejak awal saya tidak menganjurkan nya mendaftar karena terhambat syarat UU tersebut.
Saya tidak tahu apa yang terpikir dalam otak teman saya, yang jelas saya seolah diantar kepada situasi tidak enak-seolah sebentar lagi saya akan kehilangan satu teman atau bahkan kehilangan respek beberapa teman karena keputusan ini. Teman saya menelepon untuk memastikan bahwa saya memang tidak membelanya pada rapat pleno, kemudian dia menutup telepon dengan keras. Ya ampun! dunia seolah runtuh.
Saya mencoba merenung dan memikirkan keputusan saya. Masak sich karena tidak diloloskan, dia akan membenci saya, toh menjadi PPK bukanlah sesuatu yang penting, bukan sampai membuatnya mati, tidak akan membuatnya tidak makan karena toh dia udah jadi PNS, apalah gaji 400 rb selama 8 bulan bagi teman saya yang cerdas dan berani itu., sebagai tambahan? disaat masih banyak calon PPK lain yang melamar adalah orang-orang yang membutuhkan kerjaan, membutuhkan uang untuk membiayai keluarganya. Apakah nilai pertemanan kami lebih rendah dari 400.000 x 8 ???? Apakah saya dinilai bukan pejuang perempuan hanya karena persoalan yg bagi dia mengecewakan ini?
Akhirnya saya berkesimpulan, baiklah saya tidak akan terpengaruh dengan situasi ini. Untuk menenangkan hati, saya mengirim sms mohon maaf dan berharap suatu hari nanti dia akan mengerti. Namun dengan tegas saya katakan, jika saya seorang teman maka saya juga kehilangan respek jika pertemanan kami diukur dari situ dan dia tidak berhak menghakimi dan menggores perjuangan dan ideologi saya hanya karena persoalan ini. Saya minta maaf karena mengecewakannya dan berterima kasih atas tegurannya.
Selang 20 menit kemudian teman saya itu minta maaf atas kata-katanya yang kasar dan mulai menyadari kekhilafan nya menilai saya. Saya lega. Saya bersyukur.
Seorang teman, dalam beberapa detik berubah menjadi orang yang tidak kita kenal selama ini, tidak seperti yang kita asumsikan, tidak seperti yang kita lihat. Boleh marah, tapi jangan pernah menghakimi keyakinan dan menggores harga diri teman kita. Saya mencoba mengingat kembali, sudah berapa kali dalam hidup ini saya mengeluarkan kata-kata atau makian seperti teman saya....sudah berapa kali kita menyakiti teman kita hanya karena kita sedang hilang kendali..?
Kata-kata sekali diucapkan akan berbekas. So berhati-hatilah. Semakin kita sering menyakiti orang dengan kata-kata yang tidak relevan maka hidup kita akan pahit. Saya masih ingat, pernah seorang anggota DPR perempuan mengomentari saya (hi..hi waktu itu dia tidak tau saya) : "siapa sih yang menggoreng emping hingga coklat begini, pasti orang paling goblok sedunia!'
Hanya karena sekali menggoreng emping gosong..., bukan berarti kita orang tergoblok di dunia bukan? :-)
so..jangan diambil hati lah, bisa sakit jantung.
let's heal and to be healed.