Namaku Minerva. Menurut data, aku terlahir perempuan. Ketika kuliah di kedokteran, baru kupahami bahwa menjadi laki-laki atau perempuan adalah rangkaian rumit proses diferensiasi kromosom seks. Kadangkala proses diferensiasi itu gagal, maka terjadilah berbagai kelainan, sometimes mereka menyebutnya laki-laki suka laki laki, perempuan suka perempuan, laki-laki bersifat perempuan atau sebaliknya.
Tatkala para perempuan meributkan bagaimana memikat lelaki melalui kecantikan dan kemolekan tubuh, aku sudah selesai dengan kenikmatan alternatif yang diajarkan seorang laki-laki yang memiliki kehebatan bercinta, well, dia menjadikanku seakan sempurna. Karena itu aku tak butuh lagi simbol-simbol yang didambakan perempuan manapun di dunia ini, baik lewat iklan, undang-undang, agama atau bahkan aturan main yang ditetapkan masyarakat keblinger.kurasa.
Bahkan saat ini aku baru sadar akan kebenaran sejati, dimana tak ada lagi perbedaan perempuan atau laki-laki di "mata' Pencipta. Namun dalam kehidupan nyata seringkali kita mengutamakan laki-laki, menurut aturan turun temurun yang sama sekali tak adil atas nama pengendalian.
Siapakah perempuan? Bagaimanakah kehidupan seorang perempuan itu? Mengapa orang-orang di sekelilingku berkata, bahwa perempuan menjadi tak lengkap tanpa kehadiran laki-laki. Seolah hidup kami tak akan sempurna tanpa kata status menikah?
Sebagian dari kami meratap di sudut jalan atas nama uang, status, label, atas kemewahan kosmetik kapitalis, demi memuaskan mata laki-laki, bahkan semua mata laki-laki. Sebagian membelenggu diri demi nama baik, kehormatan, berpura-pura menjadi manusia lain, manusia palsu sambil tertawa kecil. Sebagian lagi memilih perlakuan tak adil atas nama kenyamanan, sebagian lagi membiarkan kelaminnya didefinisikan oleh laki-laki dari generasi ke generasi. Para
ibu menasihati kami untuk tetap langsing agar suami tak selingkuh. Para orangtua menasihati anak gadisnya untuk tidak cerewet agar suami betah di rumah.Tidak cukup hanya itu, tiba-tiba para lelaki mensyaratkan perempuan untuk punya penghasilan, bisa hamil, bisa mengerjakan pekerjaan rumah, bisa berdandan, bisa dibawa ke acara resmi, bisa merawat ibu mereka, bisa mengasuh anak, bisa menyediakan kopi, bisa selalu melayani di tempat tidur dan terutama dilarang marah jika penghasilan tidak cukup.
Untuk itu aku berterima kasih kepada semua sahabat, kekasih, orangtua dan semua orang yang menjadi inspirasiku, untuk semua yang memberi saran, kritik dan celaan. Kepada semua laki-laki yang kulibatkan dalam cerita ini, baik secara sengaja maupun tidak, yang mengajariku hidup, tentang pilihan bebas yang tak perlu disesali, tentang kematangan yang dibungkus sifat kekanakan seorang perempuan, tentang dan tentang mencintai tanpa syarat.
Terlebih rasa syukur kepada Perancang, Penulis Skenario Terbesar dalam hidup ini. DIA yang membiarkanku "mati berkali-kali", memampukanku hidup berkali-kali, memberi keberanian mengerjakan semua ini. Dia yang senantiasa “melempar” dan “menjerumuskan”ku kesana-kemari untuk belajar dan lebih belajar lagi mengasihi, demi sebuah pengenalan diri yang terus menerus, demi sebuah pelayanan yang tak henti-henti.