Thursday, October 26, 2006

LOVE PART ONE

Pagi itu udara sangat dingin. Sejak pukul 6.00hujan sudah turun dengan lebatnya. Mengguyurkota Siantar. Saya sedang membereskan isi tas,sekaligus uang didalamnya, hmm..lumayan masihada 5 lembar 50 ribu plus 7 buah lembar seribuan.Pada salah satu lembar seribuan, saya tertegunmenemukan tulisan dengan pulpen biru : dasima,perawan tingting, 081361780810, wah nomorMedan neh!
Saya berpikir ngapain ya orang nulis nama dan nohp nya? Apakah dia seorang perempuan yangingin dihubungi, atau tulisan itu hanya kerjaaniseng kawannya.Dan pagi itu saya jadi merasa lucu sendiri, jangan-jangan orang ini termasuk seorang yang mencarijodoh lewat lembar ribuan? Jangan-jangan seorangperempuan ‘desperate yang menunggu keajaibanlewat lembar seribuan, dengan harapan akan adaseseorang yang meneleponnya. Soalnya sudahmenjadi hal umum di kota kecil ini, seseorangmemuat nama dan nomor hp dalam rangkamencari jodoh di koran lokal. Jadi semua yangyang saya bayangkan mungkin-mungkin saja.
Dasar pengkhayal! he..he pikiran saya jadikemana-mana. Kenapa orang ini menulis namadan hp nya di lembar seribuan? Kenapa tidak dilembar limapuluh ribuan atau seratus ribuan?Karena besar kemungkinan orang yangmenemukan lembaran itu seorang yang lebihberduit, siapa tahu dia pengusahan yangkesepian hiks.., atau seorang bupati yang masihlajang..ha..ha ada-ada saja!Bisa saja orang yang menulis lembaran seribuansaat itu tidak punya lembar 50 ribuan atau justrudia berpikir lembar seribuan akan lebih banyakdibaca, beredar ataupun ditemukan orang? Ataujangan-jangan dia berpikir, lembar 50 ribuan yangditulisi pulpen akan mengurangi nilai uang itu,sehingga tiap orang yang menemukan justrudipastikan tidak akan mau menyimpannya. Taktahulah. Kok saya jadi pusing sendiri.
Daripada penasaran, bisa saja saya mengecekkebenaran nama dan no hp itu. Tapi sayamengurungkan niat saya, takut kalo ternyata itucuma akal-akalan orang iseng dan saya akanditertawakan, Siapa tahu itu nomor yang sudahtidak dipake dan saya kecele, siapa tahu itunomor orang media kagetan yang menjerat orangtrus dimasukin TV ih!.Pernah nonton film message from the bottle? Filmromantis yang mengisahkan seorang duda yangberduka karena ditinggal istri tercinta, trus diamenuliskan surat curahan hati dan dimasukkan kedalam botol, botol itu dihanyutkan danmengembara ke seluruh penjuru negara.Suatu hari botol itu ditemukan. Saya lupa apakaholeh wartawati atau oleh orang lain. Surat ituditulis dengan kata-kata yang indah sehinggamembuat pimpinan redaksi harian terkenal-tempatsang wartawati bekerja menjadi tertarik danmenugaskan sang wartawati (cantik, masih single,lembut hati dan periang) mencari penulis surattersebut.Melalui lika-liku pencarian informasi dan usahayang tidak kenal menyerah, akhirnya sangwartawati bertemu dengan penulis surat itu(alamak pemerannya Kevin Costner!!!, gak kuaaat!)
Alakisah pertemuan mereka begitu romantis,syahdu, diselingi kelucuan-kelucuan. Prosesmenemukan laki-laki asing penulis surat itu malahmenjadi berita menarik yang dieskspos danditunggu-tunggu banyak orang, menjadi ceritaajaib, seolah mereka ditakdirkan untuk bertemudan berjodoh lewat sebuah surat di botol! Padaakhir cerita memang mereka menikah danmengalami kebahagiaan yang amat sangat.Dan penontonpun lega jika cerita berakhir happyending, sesuai yang diharapkan. Memang maunyacerita berhenti sampai situ, seperti layaknya ceritaPangeran Katak, Snow White atau Cinderela.Diakhiri dengan kata-kata: “dan mereka berbahagiaselamanya.”
Kenyataannya tidak. Laki-laki yang sudahmenemukan apa yang dicarinya itu, justrumeninggal dalam sebuah kecelakaan di laut. Sayalupa pula alasan kenapa dia berlayar, yang sayatahu, dikisahkan laki-laki itu memang sukamenghabiskan waktu berlayar (sebelum bertemu siwartawati)-dalam mengobati sepi hatinya. Kenapadia harus berlayar lagi? Sebuah pelayaran terakhirsambil mengucapkan selamat tinggal?Penonton pun kecewa. Sayapun kecewa. Kecewayang ditularkan, mewabah persis flu burung. Sayatidak pernah mau memutar film itu-seperti yangselama ini saya lakukan kalo ada filmmengharukan, habis akhirnya tidak enak sich!Kenapa ceritanya berakhir seperti itu? Itu kansama saja membuat si wartawati terluka, sama halnya dengan membuat penonton terluka, bahkanmungkin lebih terluka lagi, karena sang wartawatikan cuma sebuah peran.
Tapi itu dulu. Seiring dengan waktu, Saya justru mengambil hikmah positif dari cerita ini. Prosesmenjadi dewasa, pengalaman, kemauan untukterus belajar, pengalaman melihat penderitaanorang lain, pemahaman tentang cinta yangsemakin diperbaharui, kemampuan melihatsesuatu dari berbagai sudut membuat saya tidaklagi berpikir seperti dulu.Bahwa kesempatan memperjuangkan sesuatuyang berharga atau kesempatan meraih apa yangkita mimpikan memang harus dikejar mati-matian.Termasuk di dalamnya kesempatan “memberikan”cinta yang tulus, seperti yang dilakukan wartawatiitu (toh masih banyak pria yang lebih hebat yangbisa ditemukannya di kota, daripada seorangpelaut sendu yang tinggal di tempat sepi). Jikapada akhir ceritanya tidak seperti yang kitaharapkan, itu lain soal.
Menyakitkan iya. Menyedihkan sangat. Namunapa yang sudah dijalani dan dilakukan sangwartawati terhadap laki-laki tersebut- walau singkatnamun sungguh berarti, memberi perubahan hidupdan memang sepantasnya diraih mati-matiandaripada tidak sama sekali. Yang jelas laki-laki itumati setelah merasakan dan melalui kebahagiaan.Sesuatu yang tidak akan pernah diambil darinya.Kisah sedih itu mirip cerita Film City of Angel-favorit saya, diperankan Nicolas Cage dan MegRyan. Mengisahkan seorang malaikat yang sehari-harinya menunaikan tugas sebagai pencabutnyawa di rumah sakit-terutama di ruang ICU.Saking seringnya nongkrong di RS, dia seringbertemu dengan dokter Maggi yang pintar danlembut hati. Karena setiap saat sang malaikatberkeliaran di RS dan punya kesempatan bertemusang dokter, si malaikat pun simpati lalu jatuhcinta, namun mereka tak bisa bersatu karenahidup di 2 dunia yang berbeda.
Setelah mengalami penderitaan dan kerinduanyang amat sangat karena tidak bisa menyatakanapalagi menyentuh pujaan hatinya, maka malaikatmemohon kepada Sang BOS yangmenugaskannya untuk menjadi manusia-merelakan “kehidupan abadinya” ditukar denganketidak abadian, asal bisa bersama perempuanyang dicintainya.Akhirnya memang malaikat menjadi manusia.Mereka bercinta pada suatu malam, begitumenggetarkan dan menghanyutkan. Sayang sekaliSang Bos berkehendak lain. Bos dari SangMalaikat mengambil nyawa dokter Maggi passetelah semalamnya sang malaikat untuk pertamakalinya “merasakan nikmatnya menjadi “manusia”laki-laki. Malaikat merasa sedih bahkan hatinyasangat hancur (kan hatinya udah bisa merasakansakit) namun tak bisa protes atas keputusan “Bos”nya. Hanya satu hari menikmati cinta danbesoknya sang kekasih meninggal. Namun sangmalaikat tidak menyesal karena meninggalkankeabadian yang hambar-tanpa rasa demi satu harimerasakan cinta walaupun sakit.
Cerita ini memang absurd bagi beberapa orang,apalagi yang berjiwa bisnis karena dianggap tidakefektif, tidak efisien apalagi menghasilkankeuntungan. Makanya saya hampir selalu tidakmau berurusan dengan laki-laki pebisnis karenasaya anggap di kepalanya selalu akan adaperhitungan untung rugi. He..heKebanyakan dari kita sering tidak punyakeberanian dan keyakinan untuk memperjuangkansesuatu yang berharga bagi kita, kita seringmematikan suara dari hati nurani kita karena “takutendingnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan.”Takut terkenal karena belum siapmenghadapi publik, takut rugi sebelum memulaiusaha, takut kalah sebelum bersaing atauberperang, takut tak mampu ketika ditawari jadipemimpin, takut gagal sebelum bikin proposal,takut kehabisan waktu sebelum sukses, takutpatah hati sebelum mencintai, takut ditolaksebelum meminta, takut tidak bisamembahagiakan orang yang kita cintai padahalbelum dicoba, takut salah mengambil keputusanuntuk kemudian kita menjauh, takut jika orangyang kita cintai suatu saat akan meninggalkankita, takut bercerai sebelum dilamar, takut ini itudan masih banyak lagi. The greatest problem toovercome : fear
Padahal Tuhan sudah memberi kesempatan padakita untuk memilih dan mempertanggungjawabkanapa yang kita pilih. Tuhan bekerja dengan caraNYA sendiri yang tidak mampu kita mengerti,yang tidak bisa kita pahami dengan keterbatasankita. Tuhan menginginkan kita berproses menjadiumatnya “yang semakin bertumbuh padakesempurnaan” melalui peristiwa manis maupunpahit, melalui kenyataan melukai dan terluka,melalui kursus menerima kelemahan orang laindan mengakui kelemahan sendiri; melaluipelatihan memberi maaf dan meminta maaf.Namun yang kita lakukan adalah memilih, lalumenyesal karena tidak sesuai dengan harapankita, lari dari tanggung jawab atas pilihan kita,datang kepada NYA sambil berargumen : kenapasemuanya harus terjadi? kenapa Tuhan tidakmengubahnya sesuai dengan harapan saya,sesuai dengan apa yang saya inginkan, sesuaidengan standar “kebenaran” yang saya pahami.Wealah…

Kembali ke cerita duit bertuliskan nama dan nohandphone tadi. Saya keburu menyerahkan lembarseribuan itu kepada tukang koran langganan saya.Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian, bisasaja tukang koran tadi menelepon atau entahorang yang lain lagi. Dan lembaran seribuan ituakan terus beredar sampai rusak atau lecek,sampai orang tidak bisa lagi membaca tulisannya,sampai akhirnya dibuang ke tempat sampah.Kejadian tadi menjadi inspirasi bagi saya, bahwakeajaiban bisa terjadi kapan saja, kalau kitameyakininya. So jika anda mau sedikit bertualang,berfantasi, menunggu keajaiban, tulislah nama dannomor ponsel anda pada selembar uang kertas.Siapa tahu.., ada seseorang yang menemukancintanya pada dirimu.Tiba-tiba terlintas dalam benak saya RunawayBrides, ketika Julia Roberts –calon pengantin yangsuka lari meninggalkan pengantin pria di altar-karena keraguan, pada akhirnya kembali berlututdengan kalimat yang diajarkan Richard Gere;untuk mengulang purpose nya, intinya seperti ini :Saya tahu begitu banyak gagalnya cinta dalamperkawinan, bahwa tidak ada jaminan bahwasetiap pasangan akan saling mencintaiselamanya, sama seperti halnya keyakinan bahwatidak mudah memelihara cinta. Tetapi satu halyang pasti dan saya yakin : saya akan matidengan penyesalan jika tidak pernah mencobanyadengan mu. Maukah kau menikah denganku?

Berani mencoba?Love comes to those who believe it.

Monday, October 16, 2006

Pada Sebuah Pantai:Interlude


Saya suka bait akhirnya dan seorang teman mengirimkan bagian utuhnya. Ternyata lebih indah.

Carol, kalo bait yang salah kamu kutip itu, pasti judulnya Pada Sebuah Pantai: Interlude.
mau lengkapnya?

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak
yang sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir,
dan aku menggerutu, 'masih tersisa
harum lehermu';dan kau tak menyahutku.

Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
hijau (mungkin kelabu).Angin amis.
Dan di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu.
Berarti pagi telah mengantar kau kembali,
pulang dari sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri
yang semalam mungkin kubayangkan untukmu,
tanpa tercatat, meskipun pada pasir gelap.

Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain?
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang dan ruang rutin, yang setia,

seperti sebuah gambar keluarga(di mana kita, berdua, tak pernah ada)?

Tidak aneh.Tidak ada janji

pada pantai yang kini tawar tanpa ombak (atau cinta yang bengal).
Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis, dan berkata:
'Mungkin tak ada dosa,tapi ada yang percuma saja.
'Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
Dan itulah soalnya.
Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas dan pasir yang bersetubuh.

Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
di mana mengentara bekas dalam hati
dan kalimat-kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam affair singkat),
dan kita menelan ludah sembari berkata: "Wah, apa daya.'
Barangkali kita memang tak teramat berbakat

untuk menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil

hanya ada satu dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!
Meskipun alam makin praktis
dan orang-orang telah memberi tanda DILARANG NANGIS.
Meskipun pada suatu waktu,
kau tak akan lagi datang padaku.
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.


Kita memang bersandar pada mungkin
Kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk-apa.
Barangkali saja kita masih mencoba
memberi harga pada sesuatu yang sia-sia.
Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana --apa pun maknanya.

(1973, Goenawan Muhamad)

Thursday, October 05, 2006

REFLEKSI ULANGTAHUN, Go with my bless!

life begin at 40?

Pagi tadi saat belanja, lagi-lagi gadis penjual sayur langganan saya memuji kulit wajah saya yang putih, halus, tanpa jerawat. Well, jika saya masih terlihat awet muda di usia yang termasuk banyak, tentunya ini salah satu dari sekian banyak berkat dari Tuhan yang harus saya syukuri.Namun omong-omong neh, sebenarnya bagi saya kehidupan itu dimulai pada usia 29!

Suatu pagi bulan Oktober tahun 1995, Pak Tua (boss saya di tempat bekerja) mengajak saya duduk di kursi makan.

"Vet-vet, saatnya tiba untuk keluar dari pulau-bukan karena saya mengusir, bukan karena saya tidak suka atau karena pekerjaanmu tidak baik, bukan sama sekali! Kamu sudah membuktikan bahwa perempuan mampu dan bahkan lebih bagus dalam bekerja menangani bisnis penangkaran dan ekspor ini-suatu hal yang saya ragu waktu pertama melihatmu. Namun tidak ada lagi ilmu atau hal baru yang harus dipelajari disini-semua serba rutin."

"Saya lihat kesedihanmu sudah hilang, Kamu bukan Pak Tua ini-yang berapa lama lagi akan mati, tidak boleh terlalu lama bersembunyi di tempat terpencil ini. Di luar sana masih banyak peluang terbuka lebar-yang lebih baik. Saya adalah manusia yang paling jahat dan tidak punya rasa keadilan, apabila membiarkanmu tetap disini, walaupun Pak Tua senang menghabiskan waktu dan hari tua berdiskusi denganmu. Go with my bless!"

Pak Tua menjabat tangan saya selayaknya menjabat tangan seorang ksatria yang akan berperang. Tanpa dihadiahi senjata pedang atau tombak, hanya berkat, doa dan keyakinan bahwa saya akan berhasil. Tapi saya masih senang disini………dan saya masih kehilangan sosok Bapak saya yang meninggal tahun 1994! (itu protes saya dalam hati plus kesedihan meninggalkan rumah dan orangtua kedua dalam hidup saya). Padahal sebenarnya saya takut, takut tidak bisa menemukan kegirangan hidup yang sama dengan alam sekitar-yang saya lalui selama satu tahun belakangan, takut karena tidak tahu apa yang akan terjadi di luar sana, takut menerima kenyataan bahwa orang yang saya jadikan arah selama ini-sudah tidak ada lagi, takut tidak bisa lagi berbaring melamun di landasan helikopter sambil memandangi langit berawan. Masih adakah tempat di luar sana yang bisa dijadikan rumah sekaligus pertapaan berpikir liar, bebas tanpa batas.

Dan puluhan tahun kemudian saya baru menyadari bahwa keputusan Pak Tua itu tepat! Mungkin jika tidak “diusir” saya akan menghabiskan masa muda saya dalam sebuah pulau terpencil bersama ribuan satwa primata yang tidak jelas apakah akan berkembang atau punah, ketidakpastian bisnis eksport dan ketidakpastian pertumbuhan jiwa, walaupun keindahannya sudah memabukkan akal sehat saya.

Begitu banyak yang saya temui di “luar sana” setelah saya meninggalkan Pulau Deli. Praktek dokter hewan, bisnis salon hewan dan pet shop, bergabung dengan walhi sebagai aktivis lingkungan-yang merupakan sekolah saya menemukan keberpihakan pada rakyat kecil, pendidikan politik, disain media, menjadi fasilitator, berbagai training dan pelatihan, kursus, bertemu orang-orang punya visi, perjalanan misi, petualangan keliling Indonesia, ikut dalam proses perubahan demokrasi, terlibat di dalamnya, menjadi kekasih banyak orang, bercinta dan mencintai banyak laki-laki dan menjadi dewasa karenanya, dan yang terutama menjadi manusia pemimpi, yang memilih untuk menjadi “bukan manusia biasa-biasa.”

So, jika anda membayangkan bahwa ulangtahun ke-40 harus nya dirayakan secara besar-besaran dengan pesta meriah, makan-makan dan sejumlah undangan-nyatanya itu tidak terjadi. Di Ulangtahun kali ini, Saya justru repot melayani tamu pembicara untuk sebuah pertemuan dialog publik, makan nasi goreng limaribuan di kantin dekat kantor, menerima sejumlah hadiah dari keluarga di jakarta, ucapan selamat dari teman dekat, mendengar beberapa lagu batak, menertawai kehidupan dan bercinta dengan getaran dahsyat.

Satu hal yang akan kuingat tahun ini, Ciumannya menghanyutkan, membuatku seakan tidak peduli lagi apakah matahari akan terbit esok. Kehidupan berlanjut terus, anda tentunya setuju bukan?

salut,

cp

Sunday, September 17, 2006

Pelecehan Seksual

Saya jadi ingat kejadian tahun 2003. Saat itu hujan deras, sekitar pukul 21.30 saya pulang sendirian dari kantor KPU menuju jl pantai timur.Gelap dan sepi. saat berdiri nunggu mopen di jl. merdeka, ada mobil jeepberhenti sambil membuka pintu depannya. Saya langsung diajak naik. Karena saya berpikir gak mungkinlahada orang nawarin nebeng, kalo gak kenal saya.Dan rasanya saya ingat kalo laki2 itu mirip dengan salah satu lurah di siantar, yaitulurah sigulang2, Pak Marpaung yg emang punya mobil sama.

Namanya juga anggota KPU yg dikenal ama lurah2, saya enggak curiga. Eh pas di dalam, tuh orang langsung merayu saya untuk ikutke prapat saja-gak usah diantar pulang. Ups! mati aku!

tubuh saya gemetaran setengah mati, jantung saya mpot-mpotanbayangan saya saat itu, mati deh gue bakalan dibawa kabur-diperkosahiiii...buset selama ini aku kuliahin soal pelecehan seksual ehsekarang malah jadi korban malah gemetaran dan panik!!! aduh.., goblok banget sich gue kenapa gak mikirin dari tadi resikonya numpang sama orang yg gak jelas!

tiba2 saya ingat buku panduan lsm, kalo orang mau jahat spt itukita hrs tenang, sambil berpikir keras bagaimana mengulur waktu.pertama saya bilang, jangan begitu lah..saya bukan gadis yg andamaksud..eh tuh orang malah bilang..gak usah pura2 lah..anak kos biasa begitu. buset!

menjelang jalan sangnawaluh yg gelap dan hujan deras, saya tadinya mau loncat sambil buka pintu. eh pas saya lihat di jalan itu lebihsepi lagi dan lebih berbahaya..., lebih baik tetap di dalam mobil. pikiran saya mutar2 cari akal. tenang..tenang kata saya dalam hati. pokoknya kalo tuh orang nekat, saya juga akan nekat merebut setir atau gebuk2 an sebagai jalan akhir.

krn saya mikir dia seorang lurah,,,pasti takut dong dipecat sama atasannya. Trus saya bilang awas ya kalo macam2, saya ini sepupunya walikota siantar! biar mampus kamu kalo ada apa2 dengan saya!berhasil! dia terkejut sampe mobil berhenti.Bum! saya diatas angin. prilakunya melemah, trus dia bilang borunya siapa kau?saya sebut semua bapak tongah saya:) dan ternayata dia kenal semua!malah kalo ditutur ternyata kami msh famili!!! ternyata dia masihtulang saya.aih!Tapi dasar gak tau malu..dia msh santai aja cengengesan!akhirnya saya sampe dengan selamat di rumah bapa tongah saya. sang tulang brengsek itu masih sempat ngobrol dengan namborusaya seolah tidak terjadi apa2. Muka saya udah ketekuk, sebel dan gak keluar2 lagi dari kamar.

dikemudian hari saya br sadar, SAYA MALAH TIDAK SEMPAT BERDOA. TAPI TUHAN MENOLONG SAYA.
Setelah kejadian itu, akhirnya saya bela2 in beli spd motor- krn kpu tidak menyediakan kendaraan dinas.resiko jd kpu perempuan yach gituhrs berani pulang malam bahkan pulang pagi sendirian.

Saya kapok..ternyata begitulah rasanya pelecehan seksual. Saya yg sok tau, yg katanya, cewek perkasa, mandiri, udah keok duluan. tidak segampang yg diucapkan.

kalo kejadian itu terjadi pada perempuan lugu, anak kecil yg gak ngerti bagaimana ya?.. pantesan di media sering ada kasus akibatperempuan rentan kena pelecehan seksual!

Kejadian ini membawa hikmah,kepekaan saya bertambah, termasuk solidaritas thd korban, saya bisa merasakan bahwa ketika terjadi pelecehan seksual:
1. pertama-tama perempuan "menyalahkan diri nya" (kenapa aku jalan sendiri, apakah aku terlihat seksi, apakah aku terlihat mengundang, apakah kata2 ku salah sehingga membuat laki2 terangsang)
2. memendam kejadian itu krn malu, takut, merasa bersalah, merasa lemah dan tdk berdaya
3. Malu menceritakan pada orang lain, apalagi mengadukan ke polisi, ke penasehat hukum krn takut malah jadi malu, jadi berita koran.
4. trauma, takut kejadian itu terulang lagi atau takut pelaku meneror
5. sakit hati terhadap pelaku
6. takut disalahkan dan malu ketika melapor krn harus diwawancara di depan polisi oleh krn itu korban pelecehan seksual perlu Crisis Center untuk "memulihkan dan menenangkan korban" mengatakan bahwa peristiwa itu bukan kesalahannya~apakah dari gereja, pemerintah, psikolog, depkes kerjasama dengan polisi atau lembaga lsm.

Coba kalo kejadian ini terjadi pada anak gadis anda, kekasih atau teman anda...

Sunday, September 10, 2006

BUTET LOTING

Saya alat Pemantik? (Butet Loting) Tadinya saya tidak tahu apa arti kata “loting” (bahasa simalungun) sampai Pak Frans Purba menuliskan ini :Saya jadi teringat suatu postingan nya CP - menanyakan artinya "loting." Dulu sudah mau saya jawab..lalu lupa. Kalaupun sudah tahu, syukur, akan tetapi saya ulangi, siapa tahu ada yg belum tahu.Loting atau santik (bahasa silima kuta) adalah alat untuk membuat api. Yaitu dengan memukulkan dua buah batu (karang) yg sangat keras. Batu yg satu ada ditangan sebelah kiri (besar) dan lebih lunak sedikit dari batu yg dipegang sebelah kanan (lebih kecil), lalu dihantamkan sampai mengeluarkan percikan api dan berbunyi "TING". Batu itu diperoleh setelah melalui pilihan dan dicoba coba, apakah mampu mengeluarkan percikan api. Ketika terjadi percikan api, maka percikan api itu harus dengan sigap ditampung oleh suatu bahan yg dinamakan "orbuk"(serbuk) yg diambil dari serbuk-serbuk kering pohon enau. Ketika ada percikan api yg ketangkap oleh serbuk, maka dgn sigap pula kita tiup-tiup dengan penuh perasaan agar membesar dan membara, lalu baranya itu cukup besar untuk ditempelkan diujung rokok lalu dihisap. Rokok dulu adalah tembakau dengan dibalut kulit jagung. Lalu orang pun merokoklah dengan nikmatnya. Apabila maksudnya lebih daripada merokok, yaitu utk menyalakan api buat masak, maka percikan tadi harus lebih dibesarkan dengan serbuk yg lebih banyak, lalu bara dalam serbuk itu dipindahkan ke daun-daun kering yang sudah digilas-gilas dengan tangan agar halus. Ketika baranya cukup lalu ditiup sampai menyala, dengan begitulah dulu orang simalungun menciptakan api. Pada umumnya kedua batu tadi dimasukkan kedalam satu kantong khusus bersama persediaan orbuknya, dipaket dengan kantong tembakau dan daun jagung atau daun pusuk, jadilah itu menjadi barang khas bapak-bapak untuk dibawa ke mana-mana. Seingat saya loting itu mulai ditinggalkan sekitar tahun 1951 dengan masuknya korek api made in Swedia, yang terkenal dengan nama "solok cap semut." Lalu pada tahun 1959 didirikanlah pabrik korek api BDB di Pematangsiantar. Saya masih mengalami memakai loting, terutama walaupun dulu korek api sudah bisa dibeli, sering tidak terbeli.

Horas,

Mungkin yang lebih tepat adalah begini iban: Butet adalah panggilan kepada anak perempuan yang kecil, manis lucu dan manja dan sebagainya, sedangkan Loting adalah alat yang dipakai untuk menghasilkan api. Jadi "Butet Loting" artinya seorang perempuan yang manis, manja dsb tetapi bila di sottik (gesek) dapat menimbulkan api, kebakaran dan bahkan musibah Gitu kalee ... jangan marah ya

Fajarta

Thursday, August 17, 2006

Melakukan hal kecil dengan cara BESAR



Kita ini hanya makanan cacing, friend!

Percaya atau tidak, kita semua di ruangan ini, suatu hari nanti akan berhenti bernafas, membeku dan mati. Karena takdirmu belum ditentukan, mengapa tidak menjadikannya luar biasa dan tinggalkan warisan abadi?

Sementara kamu melakukannya, ingatlah hidup ini adalah suatu misi, bukannya karir. Karir adalah profesi. Misi adalah tujuan. Karir menanyakan,”Untungnya untuk saya apa?” Misi menanyakan, “Bagaimana caranya agar saya bisa membuat perbedaan?’

Misi Marthin Luther King adalah memastikan hak sipil semua orang. Misi Gandhi adalah membebaskan 300 juta orang India. Misi Ibu Teresa adalah memberikan pakaian kepada yang telanjang dan memberi makan kepada yang lahir.

Ini adalah contoh-contah yang ekstrim. Kamu tidak harus mengubah dunia untuk punya misi. Seperti yang dikatakan oleh pendidik Maren Mouritsen, “Kebanyakan dat kita takkan pernah melakukan hal-hal besar. Tetapi kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan cara yang besar.
(dikutip dari 7 habits for teens)

BERBAHAGIA MEMILIH KERIKIL SENDIRI



Berbahagialah orang yg punya kampung di simalungun, jadi bisa ditanya dimana kampungnya? pengalaman saya sendiri cukup aneh dan menyebalkan.

Kalo ditanya dimana kampungya? bingung mau jawab apa. kalo jawabnya sondi raya: salah.
krn itu kampung bapak saya.boro-boro sok ngaku tapi gak tau apa ada berapa sungai atau kebun.

kalo ngaku jakarta: eh malah dikatain sombong, sok ngaku orang jakarta-seolah gak ngaku dari kampung.Tapi kenyataannya saya memeng gak punya kampung. Kalo ngaku simalungun-tapi gak bisa ngomong simalungun aktif dicemoh.he..he, kadang dianggap setengah simalungun krn ibu orang karo, kadang diusir krn dianggap bukan simalungun :) lagi-lagi kata yang
paling cocok diucapkan: makanya..belajar!
buset dah!

Pas mau belajar eh malah ketemu simalungun brengsek yg kerjanya berantem, subil, penipu, sok tau, sombong, munafik dan penakut-krn bisanya ngomong di belakang :)
thank GOD,kalo dikasih Tuhan seorang bapak kandung yg baek,yg mendidik dengan keras hingga bisa mencapai kondisi spt sekarang. Harus diakui selain didikan orangtua sejak kecil yg menanamkan nilai-nilai positip, seorang anak juga harus mencari jalan "kerikil"nya
sendiri untuk menempa kekuatan menjalani hidup.

Syaratnya: jangan kasih duit banyak-banyak! krn duit berlebih akan membuat orang iseng beli sana-sini akhirnya malah jadi ukuran diri. Saya masih ingat ketika pulang dari praktek kuliah lapangan disuruh bapak saya cerita bagaimana mulai dari nanam padi sampe jadi beras.
hi..hi krn saya kurang memperhatikan jadi gak bisa jawab. Bapak saya langsung nyuruh saya balik ke lokasi dengan pulang membawa catatan lengkap.Katanya dulu beliau sejak kecil biasa kerja keras di sawah..kok enak2 nya anak sekarang tinggal makan beras!

atau ketika SMP minta duit jajan lebih, bapak saya bilang kalo uang jajan saya sehari itu lebih besar dari gaji seorang buruh yang berdiri selama 20 jam sehari.
atau saat SMA menjelang sipenmaru, kalo tidak lulus perguruan tinggi negri, bapak saya akan nyuruh saya jualan minyak saja krn gak mampu membiayai kuliah di swasta.

Tapi yg paling saya ingat adalah nasehat beliau: jika kita mendapatkan uang dari menindas orang, merugikan manusia lain atau dengan tidak jujur maka akibatnya akan terjadi pada anak keturunan kita.

sometimes seorang bapak juga harus "tega" mendorong borunya untuk dibiarkan keliling eropa sendirian saat usia 24 thn dengan bhs inggris pas-pas an demi keberanian dan kemandirian. Dan sepulangnya dari sana He said: Saya bangga punya anak perempuan sehebat kamu!
Hanya sebuah kalimat pendek namun bisa "mengantar" seorang anak terbang tinggi dan tegar melalui apapun dalam hidupnya.he..he

Inilah yg jarang dilakukan bapak-bapak saat ini:memuji anak sendiri. please deh..yg ada cuma kalimat : bapak lebih tau?, orangtua lebih pintar?, memangnya kau tau apa? jangan sok pintar, saya lebih pengalaman, tidak ada yg sehebat bapak, anak kecil tau apa? dst sikap seperti itu membuat anak jadi gak berani berjuang dan terlalu rendah menilai diri.Padahal saya rasa setiap anak di dunia ini ingin diterima apa adanya.

Kalau saja beliau tahu bahwa saya sudah pernah mempresentasikan rancangan uu sumberdaya alam di depan para mentri,rapat dengan DPR- RI, mengorganisir seminar nasional,berfoto bersama Walden Belo (cuma berfoto..:), tidur di kandang babi, minum air hitam bercampur kotoran manusia,sendirian di tengah 900 hektar hutan dengan bahaya ular phyton,berjalan 7 jam melewati jurang, menulis di halaman 4 media terkenal, menjadi delegasi di asia pasifik...dan entah apa lagi.(jadi perempuan simalungun satu2 nya anggota kpu mah gak bangga) ah seandainya saja...!
Berbahagialah orang yg punya kampung.
Berbahagialah anak yang mendapat pujian dari seorang bapak.
Berbahagialah orang yang punya mimpi dan berupaya mewujudkannya.

Namun lebih berbahagia lagi orang yang menemukan dan memilih "kerikilnya" sendiri dan bercita-cita mewujudkan mimpi orang banyak.


salam,
cp

yayasan kiras madani
(untuk masyarakat yang belajar, bertumbuh, berdaya)

Friday, August 11, 2006

KEPALA DAERAH MEMALSUKAN IJAZAH?


BURUK MUKA CERMIN DIBELAH: menyoal ijasah palsu kepala daerah

Kasus ijazah palsu (baca: ijazah tidak memenuhi persyaratanadministrasi) kepala daerah dan wakil kepala daerah akhir-akhir ini,mungkin bisa diibaratkan pepatah Buruk Muka Cermin Dibelah. Ibaratkaki tersandung batu akibat kurang hati-hati di jalan, namun yangdisalahkan justru keberadaan batunya.Para pendukung kepala daerah yang terkena kasus ijazah yang didugapalsu, baik perorangan maupun kelompok seolah "mementahkan" syaratadministratif kepala daerah yang dibelanya, dengan mengeluarkankomentar "kenapa mempersoalkan selembar kertas pendidikan jika hanyabersifat memenuhi syarat formil?" Palsu tidaknya sebuah ijazahmenjadi tidak penting dan tidak perlu dipersoalkan, selama kepaladaerah tersebut dianggap mempunyai kapasitas memimpin danmenjalankan roda pemerintahan di daerah. Apalagi jika ada asumsibahwa pengaduan ijazah palsu dianggap sebuah intrik politik kelompoktertentu yang ingin menjatuhkan "jagoan' mereka, mengambil alihkekuasaan, sebagai aksi barisan sakit hati dan sebagainya.Mengapa ketika persoalan ijazah yang diduga palsu terjadi, "seolah"kita kembali mempertanyakan perlunya syarat formil tanda kelulusanseseorang ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan wakilkepala daerah (dalam peraturan perundang-undangan), ketimbangmembuktikan kebenaran palsu atau tidak ijazah itu?Mengapa pendukung kepala daerah dan wakil kepala daerah bermasalahjustru menampilkan sikap defens ketimbang mencoba membuktikankebenaran?Apakah hal ini disebabkan kekecewaan masyarakat karena tidak sedikitkasus yang membuktikan bahwa ijazah yang didapat belum tentumencerminkan moral atau bahkan tidak selamanya menjamin kepintaranatau kepemimpinan atau keberpihakan seorang kepala daerah terhadaprakyat pemilih?Siapa yang berwenang membuktikan ijazah tersebut palsu atau tidak?Bagaimana sikap kepala daerah atau wakil kepala daerah dalammenanggapi pengaduan ijazah palsu ini, menuntut balik si pengaduatau dengan tenang membuktikan dirinya bersih?Apa dampak persoalan dugaan ijazah palsu bagi jalannya rodapemerintahan dan kelangsungan kepercayaan publik?Pada kenyataannya, persoalan ijazah sebagai syarat kelengkapanadministrasi tidak semudah yang dikira sebagian orang. Persyaratanijazah sebagai salah satu syarat administratif calon kepala daerahdan wakil kepala daerah jelas memiliki dasar hukum yang kuat,seperti tercantum dalam UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004pasal 58 huruf c: kepala daerah dan wakil kepala daerah,berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atasdan/atau sederajat. Yang dimaksud dengan "sekolah lanjutan tingkatatas dan/atau sederajat" dalam ketentuan ini dibuktikan dengan surattanda tamat belajar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.Pada petunjuk pelaksanaan yang termuat dalam PP No. 6 tahun2005 tentang Pemilihan Pengesahan Pengangkatan dan PemberhentianKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 38 huruf c dijelaskanpula syarat administratif : Berpendidikan sekurang-kurangnyaSLTA/sederajat yang dibuktikan ijazah pendidikan formal dari tingkatdasar sampai dengan ijazah terakhir yang dilegalisir oleh pejabatyang berwenang.Apabila syarat-syarat administrasi calon kepala daerah dan wakilkepala daerah seolah dibantah atau "kembali dimentahkan" olehmasyarakat sendiri hanya karena fanatisme kepada seseorang, makaakan berakibat kurang baik dalam keberlangsungan demokrasi,akuntabilitas dan transparansi pejabat publik selanjutnya. Padahalsemua yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah resmi dalamtata kenegaraan. Mengubah aturan main sama saja dengan bermaksudmengubah undang-undang yang sudah ditetapkan, dan hal itu tentunyamemerlukan proses panjang, sekumpulan perdebatan, pro-kontra,sejumlah rapat pembahasan yang melelahkan dan tentunya sejumlah danabagi pantia perencana undang-undang, yang notabene merupakan uangrakyat juga.Kelompok pembela kepala daerah yang ijazahnya bermasalah padaakhirnya "bertanding" dengan kelompok yang mengadukan atau kelompokyang mendukung dibuktikannya kebenaran "ijazah bermasalah" tersebut.Kondisi ini bisa saja menyulut konflik, mengundang munculnyaberbagai aksi pro-kontra, menimbulkan keresahan masyarakat danmenyebabkan terganggunya kepercayaan publik, apalagi ketikapembuktian kasus ijazah semakin tak jelas, terkatung-katung dan takkunjung usai.bersambung........TUGAS DAN WEWENANG KPUD

Saturday, February 18, 2006

POLITIK TIDAK BERHENTI PADA MALAM MINGGU

The Prospect is published by The Indonesian Institute. Our messages are democracy, unity and prosperity.

Saturday, Feb. 18, 2006

More articles...
Klinik Pejuang


Dialog Politik

Politik Tidak Berhenti Pada Malam Minggu (tulisan saya tahun 2002 dimuat dalam http://www.theindonesianinstitute.org-berpusat di iowa)

Caroline Pintauli Purba


Apa yang dikerjakan seorang lajang pada Malam Minggu? Tentunya banyak alternatif, apalagi jika orang tersebut berasal dari kelas menengah ke atas. Setelah berkutat dengan kesibukan kerja atau kuliah, para lajang kota besar seperti Jakarta, biasanya menghabiskan Malam Minggu dengan mengunjungi mall, atau sekedar minum di cafe, nonton film, karaoke, main bowling, main bilyar atau pergi ke diskotik bersama teman-teman. Bagi yang hobby nonton bola, bisa dipastikan siap di depan TV dengan kacang kulit dan bir.
Ada juga yang berkumpul di suatu tempat, seperti komunitas diskusi puisi, teater, agama, filsafat, buku dan film. Biasanya pada Malam Minggu juga sering diadakan pertunjukkan balet kontemporer, teater, wayang orang, berbagai pameran atau konser musik sampai launching buku. Kelompok yang senang petualangan bebas, sudah berangkat sejak Jumat Malam untuk memadati daerah pegunungan, pantai, arena balap mobil atau daerah peristirahatan yang sejuk. Kemajuan teknologi juga memudahkan para lajang yang tak ingin keluar rumah. Ada game di komputer, TV kabel, menjelajahi situs internet, ngobrol-chat. Semua acara dan kegiatan diharapkan memberi hiburan, kesenangan dan kenyamanan. Apalagi mengingat situasi dan kondisi negara ini semakin tak menentu, sehingga sah-sah saja ketika setiap orang mencari pelampiasan kesumpekan. Namun saya yakin, tak seorangpun merencanakan Dialog Politik Pada Malam Minggu. Kalaupun ada, tentunya terdapat dua kemungkinan : Pertama, dia seorang pemikir serius yang dengan sengaja meluangkan waktu dan yang kedua, dia seorang yang terjebak dalam kondisi itu. Dan Pada Malam Minggu yang diwarnai hujan deras dengan disertai guntur menggelegar, saya berada dalam kondisi kedua. Mulanya hanya memenuhi panggilan seorang istri anggota DPR, yang meminta saya membantu membereskan proposal program pelatihan sebuah organisasi wanita. Namun kelanjutannya adalah makan sore dan minum kopi, lalu kabel komputer yang rusak. Agar bisa membaca apa yang sudah saya tulis, kami harus menunggu kabel baru.
Hal itu biasa saja. Namun yang luar biasa adalah, ketika sang suami yang termasuk vokal dalam menggalang opini pembentukkan Pansus Bullogate II dan pemutihan pajak pendapatan, malah memberi kuliah sore. Saya masih ingat, sejak 20 tahun lalu Bapak DPR ini memang suka berdebat soal politik. Bahkan bisa dibilang disetiap kesempatan, mulai dari meja makan sampai acara nonton TV kalau bisa diisi sepenuhnya untuk pembicaraan substansial dan bermutu. Kami yang waktu itu masih remaja sering lari menghindar dengan berbagai alasan, tentunya diiringi omelan panjang lebar, ‘tidak memikirkan republik’, ‘generasi cuek’, ‘generasi santai’, ‘buta politik’, ‘pemalas’, ‘tidak berwawasan’ dan lain sebagainya.
Itu dulu. Sekarang keadaannya jauh berbeda. Pekerjaan dan minat saya justru mengharuskan saya menggali informasi sebanyak-banyaknya langsung dari seorang wakil rakyat. Sebuah predikat yang akhir-akhir ini seringkali digugat, karena pada prakteknya jauh dari harapan. Singkat kata, terjadilah dialog mulai dari bisnis militer, kebebasan informasi, pajak yang tidak dilaporkan, selebritis pembicara masalah politik di TV, mengapa Megawati tidak tegas dalam menyikapi Kasus Bulog, Politik Balas Budi, Taufik Kemas, Amandemen UUD 45, Korupsi ala DPR, Pendidikan Politik, Pemilu 2004, kebrengsekan Partai Pemilu 1999, Hutang Luar Negri, Globalisasi, Tommy Soeharto, Kepemimpinan Nasional, Sekolah di Luar Negri, Tragedi WTC 11 September, Kelesuan Ekonomi Amerika, Kebijakan Fiskal, Harga Minyak Bumi, Demokrasi di Amerika beserta syarat pendukungnya, Rekayasa Isu Teroris, Penjualan Senjata, Perbandingan Parlemen di Luar Negri dan di Indonesia, Civil Society, isu penghancuran ornop, sejarah PKI, sampai kepada perubahan sistim Pemilu dan bagaimana menghancurkan kekuatan tentara. Cukuplah. Kepala saya sekarang dipenuhi begitu banyak masalah!
Setelah berdiskusi lebih dari 5 jam, saya pulang hanya dengan membawa satu buku pinjaman. Agak pelit memang, namun setidaknya ada yang bisa dibawa, untuk sekedar membuktikan bahwa Bapak DPR yang budiman jangan sekedar provoke, berharap generasi muda untuk berbuat sesuatu, namun pelit dalam menyediakan fasilitas.
Setidaknya Malam Minggu kali ini menjadi lain dibanding biasanya. Apalagi di kantung baju saya, ada ongkos tambahan dari sang istri, cukup untuk mentraktir 10 orang makan bakso. Saya membayangkan sepulangnya dari Rumah Bapak DPR, saya bisa santai, makan malam, mandi, nonton angin malam lalu tidur nyenyak. Namun entah kenapa kendaraan yang saya tunggu tidak muncul-muncul. Terpaksa saya harus berjalan kaki ke tempat perhentian yang satunya. Karena tak tahan lapar, saya memasuki sebuah restoran padang di kawasan Pramuka. Ketika akan duduk, tiba-tiba ada yang memanggil nama saya. Rupanya seorang aktivis senior yang juga sedang makan di restoran itu. Beliau memperkenalkan saya pada dua orang temannya dari Maluku. Lagi-lagi saya terjebak dalam diskusi politik, namun topiknya seputar teori-teori kekuasaan, tentang kebenaran yang tidak perlu dibela mati-matian, Albert Camus, Machiavelli, Kerusuhan Ambon, tentara bayaran dan korupsi LSM. Sambil menikmati traktiran makan malam, Saya berpikir ada apa lagi setelah ini? Saya tidak berharap ketemu orang yang berdiskusi politik di dalam bis nanti. Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam, dialogpun harus diakhiri. Itupun setelah ada telephone dari rumah. Syukurlah!
Dalam bis penuh sesak, saya sempat tersenyum melihat seorang pemuda sedang mengutarakan cinta kepada kekasihnya. Timbul pertanyaan, akankah lebih mudah jika kita buta politik, sehingga hidup menjadi lebih sederhana, tidak memusingkan?
Siapa yang berhak menilai atau bahkan menentukan bahwa Malam Minggu yang “normal” harus dijalani dengan kesenangan yang tidak berbau politik? Lalu siapa yang menyuarakan nasib orang-orang yang berdesakan dalam bis ini, karena pada kenyataannya hal inipun terkait dengan kebijakan politik. Bukankah generasi sekarang seharusnya justru lebih berperan serius memikirkan solusi terbaik menggantikan angkatan lama? Apakah saya sudah mensubstansialkan diri menjadi “Bapak DPR 20 Tahun” yang lalu?
Sejak dialog Sabtu itu, Bapak DPR sering meminta saya datang, khusus untuk berdiskusi. Sejak saat itu, bapak aktivis lama meminta saya untuk menjadi konsultan sebuah LSM di Maluku, tentunya dengan fasilitas dan honor yang memadai (walau saya sebenarnya tidak berharap). Dua bulan lagi, saya akan berangkat ke Ambon membantu program pemberdayaan masyarakat. Hidup memang penuh misteri. Semua berawal dari Saturday Night’ Dialogue. Tidak ada yang mengharuskan, bahwa sebaiknya diskusi politik berhenti pada malam Minggu. Mungkin sebaiknya diskusi politik tidak dibatasi oleh hari. Bahkan sikap kritis dan kesadaran politik justru harus ditumbuhkan, agar bangsa ini tidak mengulangi kesalahan pendahulunya, tidak pasif dalam menyikapi perkembangan dunia dan yang jelas dapat berkontribusi memikirkan masa depan bangsa. Saya sudah tercebur di dalamnya, merasakan pesona dan keruwetannya.


* Direktur Visi-90, memfasilitasi pengembangan media informasi sederhana dan modul pendidikan kritis-partisipatif bagi masyarakat akar rumput.

Last updated 4/22/02
© 2002 The Prospect and The Indonesian Institute, All Rights Reserved.

Monday, January 30, 2006

SUARA OMBAK SEMBILAN : a novel

Suara Ombak Sembilan
Bab I


Namaku Minerva. Menurut data, aku terlahir perempuan. Ketika kuliah di kedokteran, baru kupahami bahwa menjadi laki-laki atau perempuan adalah rangkaian rumit proses diferensiasi kromosom seks. Kadangkala proses diferensiasi itu gagal, maka terjadilah berbagai kelainan, sometimes mereka menyebutnya laki-laki suka laki laki, perempuan suka perempuan, laki-laki bersifat perempuan atau sebaliknya.

Tatkala para perempuan meributkan bagaimana memikat lelaki melalui kecantikan dan kemolekan tubuh, aku sudah selesai dengan kenikmatan alternatif yang diajarkan seorang laki-laki yang memiliki kehebatan bercinta, well, dia menjadikanku seakan sempurna. Karena itu aku tak butuh lagi simbol-simbol yang didambakan perempuan manapun di dunia ini, baik lewat iklan, undang-undang, agama atau bahkan aturan main yang ditetapkan masyarakat keblinger.kurasa.

Bahkan saat ini aku baru sadar akan kebenaran sejati, dimana tak ada lagi perbedaan perempuan atau laki-laki di "mata' Pencipta. Namun dalam kehidupan nyata seringkali kita mengutamakan laki-laki, menurut aturan turun temurun yang sama sekali tak adil atas nama pengendalian.

Siapakah perempuan? Bagaimanakah kehidupan seorang perempuan itu? Mengapa orang-orang di sekelilingku berkata, bahwa perempuan menjadi tak lengkap tanpa kehadiran laki-laki. Seolah hidup kami tak akan sempurna tanpa kata status menikah?

Sebagian dari kami meratap di sudut jalan atas nama uang, status, label, atas kemewahan kosmetik kapitalis, demi memuaskan mata laki-laki, bahkan semua mata laki-laki. Sebagian membelenggu diri demi nama baik, kehormatan, berpura-pura menjadi manusia lain, manusia palsu sambil tertawa kecil. Sebagian lagi memilih perlakuan tak adil atas nama kenyamanan, sebagian lagi membiarkan kelaminnya didefinisikan oleh laki-laki dari generasi ke generasi. Para ibu menasihati kami untuk tetap langsing agar suami tak selingkuh. Para orangtua menasihati anak gadisnya untuk tidak cerewet agar suami betah di rumah.

Tidak cukup hanya itu, tiba-tiba para lelaki mensyaratkan perempuan untuk punya penghasilan, bisa hamil, bisa mengerjakan pekerjaan rumah, bisa berdandan, bisa dibawa ke acara resmi, bisa merawat ibu mereka, bisa mengasuh anak, bisa menyediakan kopi, bisa selalu melayani di tempat tidur dan terutama dilarang marah jika penghasilan tidak cukup.

Untuk hal ini, tidak ada yang berhak mengatakan itu salah atau itu benar, hanya saja aku memilih untuk menjadi diriku, mencoba berjernih bebas menentukan jalan hidup, karena aku belajar dari suara alam, debur ombak di pantai selatan negeri ini, yang pada hitungan kesembilan, akan menghantam apapun di depanya, menyadarkanku akan ketidaksempurnaan manusia.

Untuk itu aku berterima kasih kepada semua sahabat, kekasih, orangtua dan semua orang yang menjadi inspirasiku, untuk semua yang memberi saran, kritik dan celaan. Kepada semua laki-laki yang kulibatkan dalam cerita ini, baik secara sengaja maupun tidak, yang mengajariku hidup, tentang pilihan bebas yang tak perlu disesali, tentang kematangan yang dibungkus sifat kekanakan seorang perempuan, tentang dan tentang mencintai tanpa syarat.

Terlebih rasa syukur kepada Perancang, Penulis Skenario Terbesar dalam hidup ini. DIA yang membiarkanku "mati berkali-kali", memampukanku hidup berkali-kali, memberi keberanian mengerjakan semua ini. Dia yang senantiasa “melempar” dan “menjerumuskan”ku kesana-kemari untuk belajar dan lebih belajar lagi mengasihi, demi sebuah pengenalan diri yang terus menerus, demi sebuah pelayanan yang tak henti-henti.

Wednesday, January 25, 2006

WOMAN

EVERY WOMAN SHOULD HAVE..


...a feeling of control over her destiny...

...one old love she can imagine

going back to... and one who reminds

her how far she has come...

..one friend who always makes

her laugh... and one who lets her cry...


EVERY WOMAN SHOULD KNOW...

...how to fall in love without losing herself...

...how to quit a job, break up with a lover,


and confront a friend without ruining the friendship...

...when to try harder... and when to walk away...


...how to have a good time at a party she'd never choose to attend...

...how to ask for what she wants in a way that makes it most

likely she'll get it...

...that she can't change the length of her calves, the width of

her hips, or the nature of her parents...


...that her childhood may not have been perfect... but its over...

...what she would and wouldn't do for love or more...

...how to live alone... even if she doesn't like it...


...whom she can trust, whom she can't, and

why she shouldn't take it personally...



...where to go... be it to her best friend's kitchen table...


or a charming inn in the woods...

when her soul needs soothing...

...what she can and can't accomplish in a day... a month... and a year...







sumber: internet

OPINI DI HARIAN SIB

OPINI 23 APRIL 2003

PEREMPUAN DAN POLITIK

Mau apa sebenarnya perempuan? Itulah pertanyaan yang sering muncul dalam rapat-rapat DPR, baik di ibukota, maupun daerah-daerah, dalam pertemuan-pertemuan kelompok yang dihadiri laki-laki, dalam pertemuan dan diskusi beberapa komponen masyarakat, seperti partai politik, organisasi masyarakat, organisasi pengusaha dan organisasi keagamaan hingga kedai kopi. Timbulnya pertanyaan diatas, sekaligus pula mewakili dan melengkapi jawaban kondisi terpuruk di Indonesia: bahwa perempuan tidak termasuk dalam kelompok yang ‘diperhitungkan” di negara ini.

Keberhasilan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam parlemen- yang berlangsung “alot” hingga akhirnya dicapai keputusan untuk dicantumkan dalam UU Pemilu, hanyalah awal dari pekerjaan rumah yang masih harus ditindaklanjuti ke depan. Meskipun demikian, keputusan kuota 30% masih sering disikapi dengan sinis, dingin dan acuh tak acuh oleh beberapa kelompok masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Alasan yang dikemukakan berkisar tentang kapasitas dan kemampuan perempuan Indonesia, yang umumnya dinilai masih jauh dari harapan, sehingga kelompok ini lebih memilih untuk berpatokan pada sistem yang mengutamakan segi kualitas personal, bukan pada komposisi jumlah perempuan dan laki-laki.

Pertama-tama, ada baiknya kita mengkritisi terlebih dulu, beberapa pertanyaan mendasar yang kerap muncul sebagai respon keterlibatan perempuan dalam politik, yaitu: Mengapa isu politik begitu penting bagi perempuan? Apakah mayoritas warga negara perempuan di Indonesia yang berjumlah 57% ini sudah benar2 dipandang sebagai warga negara atau stake holder di negeri ini? Apakah keterwakilan perempuan dalam politik akan menjamin perbaikan kondisi negeri ini?

Isu politik begitu penting untuk perempuan, tak lain karena perempuan adalah bagian terbesar/mayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping mereka terus menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses pembuatan keputusan!

Secara normatif, tidak ada peraturan perundang-undangan dalam bidang politik yang mendiskriminasi perempuan. Namun dalam kenyataannya tingkat representasi perempuan di badan legislatif pada berbagai tingkatan, termasuk DPRD Tingkat II (kabupaten), DPRD Tingkat I (propinsi) dan DPR RI (nasional) masih sangat rendah, hingga dampaknya dalam kebijakan politik menjadi signifikan.

Di Indonesia jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota DPR hanya 9%, di kursi DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota, jumlah itu jauh lebih kecil lagi. Tidak ada seorang perempuanpun yang menjadi Gubernur di Indonesia dan hanya 5 orang perempuan (1,5%) menjabat sebagai bupati/walikota.

TABEL: PEREMPUAN DALAM LEMBAGA-LEMBAGA POLITIK DI INDONESIA PADA TAHUN 2002

LEMBAGA PEREMPUAN JUMLAH % LAKI-LAKI JUMLAH %

MPR
18 9,2
117 90,8

DPR
44 8,8
455 91,2

MA
7 14,8
40 85,2

BPK
0 0
7 100

DPA
2 4,4
43 95,6

KPU
2 18,1
9 81,9

Gubernur
0 0
30 100

Walikota/Bupati
5 1,5
331 98,5

Eselon IV & III
1,883 7,0
25,110 93,0

HAKIM
536 16,2
2,775 83,8

PTUN
35 23,4
150 76,6


Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2001

Ketika membicarakan keterlibatan perempuan dalam kebijakan dan keputusan politik, kita tidak berbicara tentang perempuan “kelas menengah-atas” yang relatif lebih beruntung dan kurang mendapat masalah, karena tidak punya persoalan meng-akses air bersih, mengakses pangan, kecukupan dalam akses dan peluang kesehatan, ketersediaan gaji untuk membiayai hidup termasuk berekreasi, ketersediaan pembantu rumah tangga dan baby sitter karena kemampuan ekonomi. Akan tetapi kita membicarakan sejumlah besar sekali perempuan petani, nelayan, buruh yang tidak punya akses dan peluang untuk mendapatkan, apalagi menentukan keputusan kredit usaha, perempuan yang menjadi korban pencemaran di daerah industri, perempuan yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang cukup, perempuan yang bersusah payah mendapatkan air bersih demi kesejahteraan keluarga, perempuan kelompok masyarakat adat yang terus tersingkirkan dari tanah mereka, perempuan yang dipaksa mengikuti program KB, perempuan yang jerih payahnya bekerja di sektor domestik tidak dinilai dan dihargai, perempuan yang mengalami kekerasan dan beban ganda dalam rumah tangga, perempuan miskin, perempuan yang diperdagangkan, yang dipaksa melacur karena miskin, perempuan yang dibayar murah, mengalami perlakuan diskrimininasi dalam upah serta eksploitasi lain, baik di dalam dan di luar negeri, berupa pelecehan dan pemerkosaan, para pengungsi perempuan dan anak-anak, jutaan anak perempuan yang tidak mendapat prioritas pendidikan karena keterbatasan ekonomi dan sistim patriarki, serta perempuan yang menderita karena terjebak dalam konflik dan kerusuhan, termasuk perempuan-perempuan yang bahkan tidak berhak menentukan atas tubuhnya sendiri dikarenakan eksploitasi media dan teknologi.

Fakta kepemimpinan presiden yang dijabat oleh seorang perempuan, ternyata tidak menjamin perubahan nasib dan kondisi perempuan di Indonesia, karena perempuan sebagai pejabat pemerintah, yang tidak dilandasi kepekaan gender justru menimbulkan keraguan, tanda tanya bahkan “bumerang” akan kemampuan kepemimpinan perempuan. Dan itu sangat disayangkan. Oleh karena itu, diperlukan jumlah keterlibatan dan partisipasi perempuan yang lebih besar, dengan maksud menimbulkan kesadaran kolektif akan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga diharapkan kesadaran ini akan mengantisipasi perencanaan dalam pembangunan, yang selama ini tidak memperhatikan partisipasi dan dampaknya terhadap perempuan.

Hambatan-hambatan psikologis yang menyingkirkan perempuan dalam ajang politik diantaranya adalah budaya patriarki, subordinasi perempuan dan persepsi terdalam bahwa public domain (wilayah publik) diperuntukkan bagi laki-laki. Bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintah dan bukan antara warga negara dengan pemerintah-walaupun hak-hak perempuan dijamin oleh hukum, retorika politik pemerintahan yang baik dan demokrasi partisipatoris.

Walaupun secara umum kesempatan untuk berorganisasi dibuka secara besar-besaran, namun menurut Khofifah Indar Parawansa[1], perempuan dalam arena politik seringkali menemui tantangan, dikarenakan pada satu pihak perempuan dikondisikan sebagai “ibu” yang seharusnya lebih banyak bersama keluarga, sementara seringkali sudah menjadi kebiasaan, banyak rapat-rapat partai politik diadakan pada malam hingga pagi hari.

Selain itu keterlibatan perempuan seringkali disalahtafsirkan dengan mengupayakan gender balance, dengan menempatkan perempuan sebanyak mungkin dalam suatu organisasi, namun bukan pada posisi kunci (pengambil keputusan)-hanya sebagai kelompok yang menyediakan konsumsi atau mengerjakan tugas-tugas administrasi.

Penggunaan langkah-langkah afirmatif dan kuota, adalah sebagai salah satu cara mendorong partisipasi perempuan dalam politik, yang sekaligus mengupayakan agar perempuan punya kesempatan sama dengan laki-laki untuk dan berani maju dan tampil memperjuangkan kepentingannya dalam arena politik-arena yang selama ini dikonotasikan sebagai dunia laki-laki. Sudah banyak negara di dunia yang berhasil menerapkannya seperti ..

Untuk itu diperlukan kampanye besar-besaran untuk menyadarkan perempuan agar menjadi pemilih yang loyal, pemilih yang cermat, melakukan aksi bersama : hanya akan memilih partai yang di dalamnya terwakili jumlah perempuan 30%.

Kemauan perempuan adalah berjuang merubah kebijakan yang tidak adil, yang selama bertahun-tahun merugikan perempuan, menghapus kebijakan yang menindas perempuan dan merebut posisi-posisi penting untuk ikut menentukan kebijakan negri ini, melalui upaya pengisian kursi-kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Kini peluang itu semakin terbuka dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya melalui program pendidikan dan penyadaran politik, pemberdayaan perempuan, meningkatkan kerjasama antar organisasi perempuan.



Caroline Pintauli Purba
YPSM Bina Insani, tinggal di Pematangsiantar.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ceramah disampaikan pada Seminar: Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah 8 Maret 2003 di Jakarta

Monday, January 23, 2006

PEREMPUAN DALAM LEMBAGA POLITIK?


TAHUKAH ANDA, Beberapa Jumlah Perempuan dalam Lembaga Politik Indonesia? Menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia, Mengapa penting bagi perempuan untuk ikut menjadi pembuat keputusan politik?

Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi:

a. Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman.
b. Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak.
c. Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa.
d. Isu-isu kekerasan seksual.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, sperti:
a. Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya; penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan. Misalnya; kasus perceraian.
Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti:

a. Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara cara anti kekerasan.
b. Perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.

Apa akibatnya jika jumlah perempuan dalam lembaga politik tidak berimbang?
Lebih dari setengah total jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan. Mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik.

Selama puluhan tahun lembaga-lembaga politik di Indonesia beranggotakan sebagian besar laki-laki dan menghasilkan keputusan-keputusan yang sangat dibentuk oleh kepentingan serta cara pandang yang mengabaikan suara perempuan. Dalam jumlah yang sedikit, suara perempuan tidak akan memiliki kesempatan untuk membawa perubahan yang berarti dalam proses pengambilan keputusan politik

Bagaimana meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik?
Memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan-keputusan politik

Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri.
Keterwakilan Perempuan dalam Sistem Pemilu
a. Distrik
Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif(caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya, sehingga caleg bertanggungjawab langsung ke pada pemilih
Caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain
b. Proporsional
Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol
Sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil.
c. Campuran
Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg
Mendesak setiap partai politik agar:
Mencantumkan kualifikasi/syarat-syarat menjadi caleg secara transparan, terbuka dan adil jender sebab dengan demikian perempuan dapat lebih mudah ikut serta berkompetisi mencalonkan diri.
Menyertakan minimal 20% caleg perempuan dan nama nama kandidat perempuan dituliskan berselang-seling dengan nama kandidat laki-laki
Menetapkan minimal 30% perempuan sebagai calon anggota pengurus partai politik
Mendesak pemerintah agar menetapkan UU Pemilu yang membolehkan pencalonan mandiri atau pengajuan kandidat independen sebab hal ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri tanpa harus lebih dulu menjadi anggota pengurus salah satu partai tertentu

Apa tindakan kita?

Mensosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan politik kepada media massa, lingkungan masyarakat dan keluarga.

Memberikan nilai/pandangan kepada lingkungan masyarakat dan keluarga sejak dini, tentang pentingnya peran perempuan dalam politik

Mendorong perempuan untuk berani mengisi jabatan-jabatan strategis dalam politik

Mendukung perempuan yang telah duduk dalam posisi-posisi startegis pembuat keputusan

Membuat jaringan kerja sama antara kelompok-kelompok perempuan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Mendesak pemerintah dan lembaga-lembaga formal negara lainnya untuk mendukung angka strategis untuk perempuan

Mendesak partai politik dan lembaga-lembaga/ormas lainnya untuk mendukung dan menerapkan peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Memilih kandidat perempuan dalam pemilu mendatang untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dalam politik

Sumber:cetro.or.id

Sunday, January 22, 2006

KLINIK PEJUANG


Suatu sore menjelang magrib, seorang Bapak Tua yang saya temui di sebuah jalanan sesuai perjanjian, membawa saya ke suatu tempat.

Saya menemukan alamat Bapak Tua melalui sebuah WEBSITE berjudul : KLINIK PEJUANG KECEWA. Gratis untuk pejuang atau orang yang merasa pernah menjadi pejuang.

Setelah melalui gang sempit berkelok-kelok di Jalan Gading, sampailah kami di sebuah rumah kecil dan sederhana. Di depannya tertulis dengan jelas : Klinik Pejuang.

“Kenapa saya harus membawa kamu ke tempat ini?” katanya. “Disinilah tempat dimana orang bisa keluar dari keinginan diri, dari kesombongan, keluar dari perasaan bahwa dirinyalah yang paling benar.”

Bapak Tua itu mengenakan jubah putih. Saya dituntun duduk pada sebuah bangku reot dan berdebu. Di depannya ada sebuah meja, di atasnya terdapat segelas air dan satu bungkusan berwarna coklat.

“Minumlah,” katanya. “Bubuk dalam bungkusan itu akan membuatmu segera melupakan dunia dan tidak merasakan apa-apa lagi kecuali ketenangan. Tidak akan ada patah hati, rasa bersalah, perasaan gagal, terbeban, rasa sakit, rasa diperalat, perasaan dibuang. Suatu tempat istirahat untuk orang-orang yang merasa dirinya sudah berjuang, untuk berpikir kembali atau mundur selamanya.”

Saya memandang sebentar ke arah bungkusan itu, membukanya pelan dengan tangan bergetar. Tak lama lagi, bahkan dalam satu menit nanti, saya akan pergi dari sekumpulan orang kejam dan mengecewakan seperti sekarang.

Didalam bungkusan terdapat serbuk putih yang mengeluarkan bau harum. Mengingatkan saya pada perpaduan bau cendana dan melati. Ah, tidak juga. Ada bau seperti bumbu mie instan bercampur bau daun kemangi.

Seketika, saya sudah tidak perduli lagi dengan bau-bauan itu. Yang penting, seperti petunjuk yang saya baca, bubuk ini akan membebaskan rasa sakit, lelah dan dari ambisi mengubah dunia.

Ssrht, ssrht. Saya menuang bubuk itu ke dalam mulut. Rasa pahit menjalar ke seluruh lidah saya, ke langit-langit dan tenggorokan. Bahkan gigi saya seakan beradu satu sama lain saat bersentuhan dengan bubuk itu. Saya mencoba menahan muntah.

Dengan cepat, saya meraih gelas di depan saya dan segera meminumnya. Glek..glek..glek. Saya meminumnya sampai habis, sambil berusaha menghilangkan rasa tak karuan yang ditimbulkan serbuk tadi.

Rasa pahit itu hilang. Tubuh saya mulai kegerahan. Rasa kantuk menyerang dan bobot tubuh saya menjadi ringan, seakan mau melesat.

Samar-samar Saya melihat bayangan Bapak tua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk, semakin jauh, semakin samar, untuk akhirnya menghilang.

Ternyata saya benar-banar melayang seperti roket. Saking cepatnya, ujng rok saya berkibar seperti bendera. Angin malam menerpa wajah saya yang tadinya keringatan. Sungguh menyejukkan. Saya terbuai akan kenikmatan yang belum pernah saya rasakan.

Setelah beberapa menit perasaan nyaman itu hilang. Kaki saya kembali menginjak bumi. Saya berada dalam suatu ruangan warna merah berbaur putih, yang di dindingnya banyak terdapat gambar abstrak. Sepertinya melukiskan peperangan.Begitu memusingkan.

Dihadapan saya terhampar sebuah arena, sebesar arena pameran Pekan Raya di Jakarta. Hanya saja semuanya dalam bentuk mini, sehingga saya bisa melihatnya hanya dengan mengitar. Semuanya begitu jelas. Kira-kira ada tigapuluhan arena. Ketika menegok setiap kejadian dalam arena itu seperti menonton dunia kecil pertunjukkan boneka.

Saya bertanya-tanya, inikah neraka? Mengapa tidak ada api atau penjaga dengan tampang seram, seperti yang diceritakan banyak orang. Apakah neraka sudah berubah menjadi ajang mempertontonkan sesuatu, seperti dalam ruang pameran perumahan, computer atau furniture? Apakah neraka bukan lagi tempat menghukum orang berdosa?

Saya memilih berjalan kearah bagian yang paling ramai karena disana banyak manusia berkeliaran sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Sepertinya mereka saling menyalahkan satu sama lain. Jumlahnya sekitar 500 ratusan lebih, dengan baju berwarna warni, mulai dari merah, kuning, hijau, biru, oranye dan juga abu-abu. Ada juga yang berpakaian putih, namun tidak berapa banyak.

Suara mereka terdengar dengan begitu jelas. Ada yang mengusulkan ketua partai tidak boleh merangkap jabatan, ada yang sedang berdebat soal ideologi partai dan ada pula yang sedang melaksanakan musyawarah besar untuk mengganti pimpinan mereka yang korupsi. Rupanya yang berpakaian putih adalah mereka yang baru saja mengundurkan diri.

Saya terheran-heran. Inikah hukuman bagi saya?, melihat sesuatu yang menjengkelkan seperti di dunia? Sesuatu yang seharusnya ingin saya tinggalkan, yang tidak ingin saya lihat. Kenapa harus ada dan terlihat lagi di sini?

Saya berpaling ke sebelah, dimana sekumpulan manusia sedang meratapi penderitaan mereka. Sekumpulan ibu-ibu dan anak-anak yang sedang dijaga aparat tentara. Mereka seolah terkepung di kampung mereka sendiri, tanpa makanan. Beberapa orang terlihat sedang melempar makanan dari luar gerbang. Ada apa pula ini? Kemana para suami dan anak laki-laki mereka pergi?

Saya menjadi muak dan berlari ke ujung ruangan. Disana keadaannya lebih parah. Asap mengepul di udara seiring dengan pembakaran rumah-rumah pelacuran dan tempat perjudian. Ada lagi pemandangan penggusuran tempat-tempat gelandangan karena dianggap mengotori pemandangan. Di mobil-mobil para aparat penggusur tertulis : Pemberantasan Kemiskinan. Hati saya remuk. Tubuh saya limbung dan serasa terjatuh di kubangan air dingin. Begitu dingin dan lengket.

Ternyata di sana ada banyak manusia terendam air setinggi leher, seperti yang baru saya lihat beberapa waktu lalu, saat banjir melanda Jakarta.

Saya merasakan air itu juga membasahi baju saya. Kotor dan bau amis seperti di pasar ikan. Saya memejamkan mata karena ngeri. Ada sesuatu di bawah sana yang menjalari paha saya. Mungkin ular atau seonggok mayat. Berjam-jam saya ketakutan, berjam-jam saya terdiam, mungkin sampai pingsan.

Ketika bangun saya berada dalam sebuah ruangan yang penuh dengan wajah-wajah yang saya kenal. Mereka sedang sibuk menolong para korban banjir melalui pengumpulan sembako dan pakaian bekas.

Saya berteriak-teriak, bukankah seharusnya mereka menggelar aksi penyadaran lingkungan dan mengkritisi kebijakan pembangunan, bukannya ikut-ikutan menggelar posko banjir. Sekarang saatnya!

Tetapi sepertinya mereka tidak mengenal saya. Suara mereka terdengar jelas, namun mereka tidak mendengar suara saya ataupun merasakan kehadiran saya. Saya frustasi. Melalui sebuah pintu satu-satunya di ruangan itu, saya beranjak pergi.

Diluar sana kelihatannya lebih sepi. Hanya terlihat padang rumput hijau yang begitu luas, saking luasnya menimbulkan cahaya hijau menyilaukan. Mungkin inilah tempat yang dijanjikan Bapak Tua itu, sebuah tempat nyaman dimana kita tidak lagi merasakan kecewa dan sakit.

Tetapi lama kelamaan pemandangan hijau itu berubah menjadi serombongan anak sekolahan dengan seragam hijau. Rupanya merekalah rumput-rumput yang menyilaukan itu. Mereka terdiri dari anak laki-laki dan perempuan berusia sekitar 10 sampai 11 tahun, berjejer membuat untaian.

Saya menepuk pundak seorang diantaranya. Seorang anak laki ingusan berwajah lugu. Tiba-tiba saya terkejut melihat wajahnya mirip Seno, seorang anak desa di Pegunungan Meratus. Seorang bocah yang walaupun sudah duduk di kelas lima SD, namun belum mampu menulis kata ‘singkong’.

“Apakah Ibu akan datang lagi untuk mengajar kami?” Anak itu bertanya persis seperti yang Seno katakan setahun lalu. Ketika itu guru mereka yang hanya datang 2 kali dalam seminggu tidak masuk. Seno dan anak-anak lainnya harus menempuh perjalanan selama satu jam ke sekolah. Setelah melalui duabelas sungai deras dan hutan karet, mereka harus kecewa. Guru mereka tidak muncul. Dan negara ini tidak menyediakan gaji untuk sukarelawan.

Saya tertegun. Bukankah sekolah mereka sudah roboh karena lapuk dan tidak memenuhi syarat jumlah murid?

Tiba-tiba perut saya mual lagi. Saya berlari tak tentu arah. Hanya berlari dan berlari. Kelopak mata saya terasa pedih akibat kurang tidur. Mungkin juga berair karena tangis.

Saya mengumpat. Bapak Tua itu sudah membohongi saya! Mengapa perasaan bersalah, perasaan tidak mampu dan sakit itu masih saya rasakan disini, di dada ini. Dan sekarang wajah-wajah yang menagih janji bermunculan memenuhi kepala saya.

Akhirnya pelarian saya sampai di sebuah ruangan bertanda. Di sebelah kiri bertuliskan “pejuang” dan di sebelah kanan bertuliskan “rasa aman”. Dengan cepat saya berlari ke arah kanan dan anehnya tiba-tiba saja rasa mual itu hilang.

Tubuh saya seakan meluncur ringan ke suatu tempat lainnya. Suatu tempat penuh sesak manusia. Kedatangan saya seolah tidak mereka sadari, tidak berarti apa-apa, atau memang tidak ada yang perduli. Masing-masing hanya diam dengan tatapan kosong. Mereka tidak melakukan apa-apa. Ada yang duduk, ada yang berdiri, ada yang diam seperti suasana jamuan teh, namun tidak ada teh ataupun penganan kecil.

Saya hanya terpaku beberapa menit dan mulai merasa bosan.

Tak lama kemudian terdengar bunyi keras seperti halilintar. Sebuah petunjuk arah kembali muncul, yang satu bertuliskan “pejuang” dan satunya lagi “tidak perduli”.

Tiba-tiba saya berpikir betapa sakitnya berada bersama orang-orang yang tidak melakukan apa-apa ini. Bagaimana dengan tempat yang disebut “tidak perduli”, apakah lebih parah dari tempat ini? Saya tidak ingin mengambil resiko. Mungkin lebih baik merasakan sakit daripada tidak merasakan apa-apa.

Sebelum tanda itu hilang, dengan satu hentakan saya berlari ke arah tanda “pejuang”. Kembali rasa mual, ditambah keletihan melanda tubuh saya.

Saya tidak tahu jam berapa atau sudah berapa lama saya berjalan. Hanya lorong gelap, dingin dan berbau lembab yang saya lalui, menuju suatu tempat. Entah kemana, saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak ingin diam bersama mayat-mayat hidup sebelumnya dan berharap lorong ini segera berakhir.

Akhirnya sebuah pemandangan terang menuntun saya. Seperti yang sudah-sudah, saya menemui dua pilihan pintu yang kali ini berwarna. Yang pertama berwarna hitam dengan tulisan putih “pejuang” (lagi). Yang satunya berwarna putih dengan tulisan hitam “menyerah”.

Saya kelelahan dan ingin tidur. Kegelapan menyelimuti ruangan itu, seperti gelapnya warna pintu di depan saya. Saya yakin jatuh di pintu “pejuang”, karena tempat itu terasa lebih dekat dengan nurani saya.

Pintu hitam terbuka. Bapak Tua berjubah putih didampingi dua orang berpakaian dokter sedang merapikan dan mencopot kabel-kabel dari tubuh seorang perempuan. Pada pakaian seragam mereka tertulis cyber pejuang.com.

Untuk pejuang..yang mendengar suara-suara kecil..suara-suara yang tak terdengar..suara-suara yang tak didengar..suara-suara yang tidak ingin didengar..suara rakyat, suara yang seharusnya diwakilkan.



(caroline pintauli, dikutip dari Kalender Bumi 2000: suara-suara kecil )

-tamat-



Jakarta, 27 Februari 2002

· Direktur Visi-90, memfasilitasi pengembangan media informasi sederhana dan modul pendidikan kritis-partisipatif bagi masyarakat akar rumput.

· Tulisan yang pernah dipublikasikan, Dicari Pahlawan Lingkungan (Opini) dimuat Harian Sinar Harapan 10 Juli 2001, Agreement on Agriculture-Debt Watch Indonesia, Gugatan Kelas-YLKI, panduan investigasi lingkungan dan beberapa seri informasi globalisasi.

DIcari Pahlawan Lingkungan

Tulisan pertamaku Sinar Harapan, 10 Juli 2001

Dicari Pahlawan Lingkungan

Oleh: Caroline Pintauli

Seorang perempuan biasa bernama Erin Brockovitch ikut andil dalam memenangkan US$ 333 juta, atas ganti rugi pencemaran lingkungan. Tidak mengherankan jika film ini mengantar Julia Roberts meraih Piala Oscar 2001. Seandainya cerita dari kota kecil Hinkley dengan setting Tahun 1993 ini bukan kejadian sebenarnya, mungkin kita menganggap Erin B. adalah pahlawan film, layaknya Rambo. Apalagi kita sadar, kemenangan korban pencemaran lingkungan, belum pernah terjadi, bahkan sulit terjadi sepanjang 20 tahun lebih gerakan lingkungan di Indonesia! Kasus pencemaran lingkungan di negara ini sering tidak tuntas, dengan alasan tidak cukup data atau bukti. Kalaupun sampai pengadilan, belum pernah menang, atau menghasilkan keputusan ganti rugi yang mamadai, baik atas nama korban maupun lingkungan. Perusahaan pencemar lebih lihai dalam berkelit dan lebih punya argumen dalam membantah bukti.Advokasi kasus lingkungan memang butuh kerja keras dan sikap konsisten. Di dalamnya ada investigasi cermat, biaya besar, waktu panjang, ketahanan mental serta kreativitas dalam menghadapi ancaman dan hambatan. Yang dimaksud dengan hambatan adalah tertutupnya informasi perusahaan, ketersediaan data akurat, dokumentasi pemerintah yang amburadul, kolusi pejabat dan sebagainya. Belum lagi kesabaran dalam menggali keterangan, karena masyarakat korban takut intimidasi. Kasus lingkungan bisa berakhir dengan kepasrahan menerima nasib, karena kasus terlupakan oleh publik, menunggu tinjauan ulang hingga berujung amuk massa dan kerusuhan. Sebagai contoh, PT Inti Indo Rayon Utama yang mencemari Sungai Asahan, menghabiskan waktu lebih dari 15 tahun untuk ditutup. Itupun belum tuntas karena masih harus mendengar pendapat semua stakeholder, audit ulang dan diwarnai pro-kontra masyarakat. PT Freeport Indonesia telah menghabiskan 30 tahun negosiasi masyarakat Amungme dan Kamoro di sekitar lahan konsesi. Limbah tailingnya pernah beberapa kali menjebolkan Danau Wanagon. Kontrak karya (KK) April 1967 dibuat tanpa keterlibatan masyarakat Papua. Pembuangan limbah batuan dalam jumlah yang sangat besar juga menimbulkan perubahan bentang alam (geomorfologi), mudah longsor, dan perubahan habitat flora akibat penimbunan. Ada lagi kasus Newmont. Pemerintah akan dirugikan minimal Rp 106,8 miliar/tahun, apabila PT Newmont Minahasa Raya (NMR) ditutup, termasuk di antaranya kerugian akibat hilangnya pajak dan non pajak sebesar Rp 85,5 miliar/tahun. Kecuali itu sekitar 2.800 karyawan terancam kehilangan pekerjaan.Kasus limbah import, merebak bulan April 2000. Pengusaha Singapura masih "mencari” lokasi khusus, sebagai tempat membuang tanah galian terowongan, Mass Rapid Transit (MRT, kereta api bawah tanah Singapura) yang diduga mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun). Keuntungan yang didapat Pemda dari 30 juta meter kubik limbah import adalah senilai Rp 120 miliar. Sebuah kompensasi yang menggiurkan dibandingkan dengan harga diri menjadi negara tempat pembuangan limbah.Kasus lingkungan seringkali disertai pelanggaran hak azasi manusia, pencaplokan tanah ulayat, dampak sosial, kerugian ekonomi, konflik horisontal dan penderitaan yang kompleks. Bila diambil benang merahnya, kasus lingkungan di Indonesia selalu terkait dengan kepentingan pemodal, kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, aparat yang tidak tegas, dan sanksi hukum yang lemah. Hal ini berdampak dapat dibatalkannya atau ditinjaunya suatu keputusan oleh kepentingan lain yang lebih prioritas: ekonomi negara.Sebenarnya undang-undang kita mampu mengakomodir persoalan lingkungan, tetapi sulitnya menempatkan persoalan lingkungan dalam prioritas negara ini, dibanding keuntungan materil yang didapat dari perusakannya. Bila kondisi ini tidak diperbaiki, maka bisa diramalkan, penyelesaian kasus lingkungan akan semakin jauh dari harapan. Menjadi aktivis lingkunganpun dapat terjebak dalam rutinitas program atau proyek, sehingga lupa berjuang bersama masyarakat, namun sering mengatas-namakan mereka. Hal yang patut diteladani dari Erin Brockovitch adalah semangat dan sikap konsistennya dalam mendampingi korban pencemaran, rajin mencari bukti baru untuk menguatkan posisi tawar masyarakat. Dan yang lebih lagi, keseriusannya dalam menggalang opini.Tetapi untuk negara ini, aktivis lingkungan dan masyarakat masih harus "bertarung” dengan pemilik modal, pengawasan perundang-undangan dan hukum yang lemah, pemerintahan yang belum punya perspektif lingkungan, media pemilih berita, trend isu Sidang Istimewa dan mayarakat apatis yang dilanda krisis. Pengacara yang punya komitmen terhadap lingkunganpun tidak berapa banyak. Ditambah lagi dengan sulitnya melobby tokoh politik "yang dulu banyak janji” untuk memperjuangkan lingkungan, namun hilang ditelan kesibukan lain. Mungkin perlu digagas pendidikan dan penyadaran lingkungan yang lebih riil bagi MPR, DPR, para menteri, hakim, pengacara, Polri, Pemda maupun pihak-pihak lain dalam meningkatkan sense of environmental. Mungkin sudah saatnya mengikutsertakan pendidikan lingkungan dalam kurikulum sekolah. Merancang kebijakan lingkungan yang tidak tumpang tindih dengan kebijakan lain. Menggelar "boikot” bagi perusahaan yang tidak ramah lingkungan, juga bisa dijadikan alternatif.Kasus lingkungan bukan sekedar soal ganti rugi, tetapi juga soal hak azasi manusia, demokrasi dan keberlangsungan kehidupan generasi mendatang.
Penulis adalah, aktivis lingkungan tinggal di Jakarta.
Copyright © Sinar Harapan 2001
Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)