Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan. (II Korintus 3 : 17)
Dalam Kamus Bahasa Indonesia tertera arti legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah.
Dalam bahasa dan pemikiran saya “melegenda” (menjadi legenda), berkaitan dengan peristiwa atau kisah terkenal, menjadi peristiwa bersejarah yang dikenang banyak orang, diceritakan turun temurun, berhubungan dengan perjuangan, kepahlawanan, sesuatu yang heroik, hebat, berguna dan dirasakan semangatnya hingga sekarang dan sebagainya.
Saya tidak tahu ada berapa banyak manusia di dunia ini yang bercita-cita menjadi LEGENDA. Dalam sebuah film yang saya tonton, diceritakan seorang laki-laki yang memilih mengaku menjadi seorang legenda tokoh kriminal Sommersby dan mati karena hukuman gantung, ketimbang menjadi diri sendiri, namun tidak terkenal (bukan siapa-siapa) -walaupun ada kesempatan baginya selamat dari hukuman mati asal dia mengaku bukan tokoh jahat itu. Lebih baik mati dan dikenang daripada hidup namun tidak menjadi apa-apa.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pula manusia yang berkata “Saya ini bukan siapa-siapa, I’m nobody” atau “Saya tidak berambisi menjadi sesuatu, semua dijalani biasa-biasa saja.” Untuk golongan manusia saya membaginya menjadi dua jenis, yang Pertama justru merekalah orang-orang yang punya prestasi besar, cerdas, berbakat dan hebat dan itu sebuah cara untuk “merendah” atau Kedua bisa juga merupakan kesombongan tersembunyi oleh karena lebih suka mendapat pujian dobel. Sebab setelah pendengar mengetahui bahwa mereka hebat, maka yang muncul adalah hebat kuadrat he..he. dan mereka mendapat pujian dua kali lipat.
Golongan yang lain, adalah orang yang memang merasa bukan siapa-siapa, tidak punya motivasi entah karena malas, tidak semangat atau sedang mengalami kekecewaan yang parah sehingga kalimat-kalimat itu saya artikan sebagai kalimat yang keluar dari pribadi apatis. Bahkan ada juga beberapa orang yang berkata, “ Saya tidak akan jadi apa-apa.”
Terkait dengan hal itu, saya baru membaca sebuah tulisan yang mengangkat kisah WR Supratman- pengarang lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Lagu kebangsaan dapat dikatakan sebagai identitas sebuah negara, selain lambang negara dan bendera. Cara menyanyikan lagu kebangsaan tiap-tiap negara punya ciri masing-masing. Ada yang menempelkan telapak tangan kanan nya ke dada sebelah kiri, agar merasakan denyut janyung masing-masing diri di alam kemerdekaannya. Ada pula yang mengepalkan tangan kanannya membentuk sebuah tinju dan ditempelkan ke dada sebelah kirinya.
Untuk Indonesia, biasanya cukup berdiri dengan sikap sempurna. Jika memakai topi atau peci, biasanya sambil memberi hormat, ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan tempo mars. Sedangkan jika tidak memakai topi, wajib bersikap sempurna dan dengan gagah menghadap ke depan.
Lagu Indonesia raya tidak diperkenankan dinyanyikan dengan suara satu, dua, tiga dan empat layaknya koor. Lagu Indonesia Raya harus dinyanyikan dengan satu suara dan penuh semangat. Lagu Indonesia Raya tidak diperkenankan dinyanyikan dengan bertepuk tangan atau berjoget.
Pikiran saya menerawang, apakah WR Supratman dulunya pernah membayangkan bahwa lagu ciptaan nya akan menjadi terkenal dan tersohor di dunia, karena dipakai sebagai lagu kebangsaan sebuah negara yang berdiri tahun 1945? Atau berapa lamakah proses pembuatan lagu ini, apakah beliau begadang berhari-hari ataukah dalam satu malam sudah jadi.
Tidak banyak orang, khususnya generasi muda yang mengetahui siapa Wage Rudolf Supratman. Padahal namanya dipakai dimana-mana, ada nama jalan, ada pula nama sekolah dan sebagainya. Bahkan seringkali dalam upacara-upacara resmi tidak pernah terlintas dalam diri kita untuk mengenang pengarangnya, yang karyanya tercatat sebagai momen penting dan bersejarah dalam perjalanan berdirinya suatu bangsa. Padahal selain sebagai pencipta lagu kebangsaan yang selalu dinyanyikan, Supratman juga seorang Pahlawan Nasional, penerima Bintang Mahaputra Anumerta III pada tahun 1961.
WR Supratman yang dilahirkan di Jatinegara Jakarta Tanggal 9 Maret 1903, juga seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sebab sejak mudanya beliau sudah akrab bergaul dengan kaum pergerakan atau pejuang kemerdekaan.
Ketika dilahirkan beliau diberi nama Supratman. Nama Wage menurut wetonan atau hari lahir berdasarkan kalender Jawa, dan nama Rudolp adalah pemberian abang iparnya HM Van Eldik, suami dari kakaknya yang tertua Roekijem Soepratijah. Jadi lengkapnya Wage Rudolp Supratman. Nama ini diperlukan agar dia bisa diterima di sekolah Belanda (ELS atau Europeesche Lagere School)
Namun beliau tidak lama di sekolah ini, karena kemudian ketahuan bahwa dia bukan anak seorang berpangkat dan bukan pula anak kandung Van Eldik. Jadi bukan langsung keturunan Belanda. Tapi selama ikut dengan kakaknya di Makassar, dia tertarik pada soal-soal politik, soal perjuangan, soal kemerdekaan, dan diapun rajin menghadiri rapat-rapat atau ceramah-ceramah yang diadakan kaum pergerakan.
Apalagi setelah dia mengetahui bahwa nenek buyutnya adalah pengikut atau perwira dari pasukan Pangeran Diponegoro yang berperang melawan Belanda. Ketika kembali ke Jawa, terutama di Kota Bandung, Jakarta dan Surabaya dia turut aktif dalam aktivitas kaum pergerakan. Dia malah menjadi wartawan surat kabar “Kaum Muda” kantor berita Alpena dan terakhir wartawan harian Sin Po.
Beliau dikenal sebagai wartawan militan yang rajin menghadiri dan meliput rapat-rapat partai politik, antara lain PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Parindra (Partai Indonesia Raya). Tulisan dan kritiknya terkenal tajam menyoroti kepincangan-kepincangan pemerintah kolonial Belanda. Tak heran jika beliau jadi incaran PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau polisi rahasia kolonial Belanda.
Selain itu Supratman juga seorang seniman, baik seniman pencipta lagu (komponis) maupun sastrawan. Cukup banyak lagu yang diciptakannya yang semua bernada perjuangan, membangkitkan semangat bangsa Indonesia seperti lagu Mars KBI, Mars Surya Wirawan, Parindra, Di Timur Ada Matahari, Ibu Kita Kartini, Dari Barat sampai ke Timur dan yang terpenting Indonesia Raya yang kemudian resmi menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
Memang benar lagu ini tadinya terdiri dari tiga stanza, tapi yang resmi menjadi lagu kebangsaan adalah stanza I. Lagu ini untuk pertama kali diperdengarkan di hadapan publik adalah pada Konggres Pemuda II 28 Oktober 1928 dan mendapat sambutan luar biasa dan langsung diputuskan dalam konggres tersebut sebagai lagu kebangsaan bangsa Indonesia.
Sebagai sastrawan Supratman sudah mengarang roman yakni Perawan Desa, Darah Muda dan Kaum Fanatik. Meskipun namanya sangat terkenal sebagai komponis, pejuang dan wartawan namun dari segi materi dapat dikatakan miskin, gajinya sebagai wartawan 35 gulden per bulan, sama sekali tak mencukupi. Penghargaan yang diterimanya setelah Indonesia merdeka, tidak dapat dinikmatinya karena WR Supratman jatuh sakit dan meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938 di Surabaya. Tidak meninggalkan keturunan. Tidak juga mewariskan kekayaan materi. Itulah pejuang!
Apakah memang untuk menjadi LEGENDA, seseorang harus mengalami kesendirian?
dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment