Monday, January 31, 2011

Soulmate after 41

Menikahlah karena cinta. Jangan pernah menikah karena orang lain, ingin menyenangkan orang lain, ingin mewujudkan mimpi orang lain, ingin mewujudkan kepentingan atau suara-suara lain, selain dari suara hatimu sendiri

Rentetan mercon dan cahaya kembang api berhamburan dinihari 1 Januari 2011 di Duivendrecht, Amsterdam. Ucapan selamat, dentingan proost wine, ciuman haru dan gembira menambah riuh suasana. Siapa yang pernah menyangka jika aku merayakan Tahun Baru puluhan ribu kilometer bersama suamiku, pria asal Eropa yang baru kunikahi 4 bulan lalu. Siapa pula yang pernah menebak, jika pertemuan yang cukup singkat berlanjut menjadi pernikahan seperti yang kuinginkan. Padahal menikah diusia 53 tahun dan 43 tahun tidak ada dalam daftar harapan sebelumnya!

Masih ingat? ketika belasan tahun, setidaknya kita pernah dicekoki bagaimana suami yang ideal dan umur ideal untuk menikah. Seiring bertambahnya usia dan peluang karir, makin kompleks pula kriteria menentukan pasangan hidup. Apakah dia sarjana, smart, satu suku, keturunan baik-baik, apa pekerjaannya, apakah mapan, punya rumah sendiri, apakah berniat punya anak, siapa yang akan mengasuh anak, dan lain-lain.

Walau zaman sudah modern, menikah dianggap standar normal. Tekanan orangtua, teman maupun masyarakat menambah parah anggapan ini. Masih banyak yang merasa aneh jika perempuan kemana-mana sendirian, tinggal sendirian, tidak ada yang melindungi, kesepian, sehingga perlu dikasihani.

Untungnya aku tidak terlalu peduli hal itu. Kata “seharusnya” yang sering terucap disini, justru menjadikanku orang yang melawan arus. Menurutku menikah adalah keputusan pribadi untuk berbagi hidup dengan seseorang yang mengerti kita-sampai hari tua. So, aku tidak terlalu ambil pusing dangan kata kapan. Aku juga ingat beberapa teman yang memaksakan diri menikah karena status, dorongan keluarga atau karena takut kesepian, berharap bahagia namun pernikahan yang mereka bayangkan tidak sesuai harapan.

Aku bertemu suamiku di Indonesia. Tanteku yang di Amsterdam sudah wanti-wanti untuk mengajaknya jalan-jalan. Suamiku sudah lebih dari 7 kali berlibur di kotaku. Entah kenapa setelah sekian lama baru kami bisa bertemu. Aku percaya di dunia ini tidak ada sesuatu terjadi karena kebetulan. Terkadang Tuhan mengatur dengan cara dan waktu yang tidak kita pahami. Jika kita melakukan hal yang baik pasti kita mendapatkan yang baik

Awalnya kami tidak punya perasaan apa-apa. Dia senang kuajak ke tempat-tempat yang tidak pernah dikunjungi sebelumnya. Kami punya hobby yang sama, orangnya baik, sopan, dan seorang pendengar yang baik (suatu hal yang jarang ditemui pada mantan pacarku).

Kegiatanku sebagai aktivis membuatnya ikut kemanapun aku pergi, termasuk menonton demo. Akhirnya suamiku malah dituduh macam-macam, padahal dia orang awam yang sama sekali tidak bersentuhan dengan politik. Ada peraturan tak tertulis, yang menyatakan orang asing dilarang masuk halaman gedung dpr, atau larangan seorang turis mengambil gambar demonstrasi. Singkat cerita kami berjam-jam diinterogasi di kantor polisi. Menurut mereka seorang aktivis dan orang asing pasti punya maksud tertentu mengacaukan kota ini. Tentunya menggelikan. Namun aku kira karena situasi saat itu menjelang pemilu kepala daerah dan aku terdengar peluang menjadi salah satu kandidat. Pada saat bertemu suamiku justru aku sedang berancang-ancang hidup sendiri dan membangun mimpiku menulis sebuah buku tentang politik di Indonesia.

Politik adalah politik. Semua bisa dibuat atas nama keamanan dan kekuasaan. Saat itulah kami menjadi semakin dekat. Dari situ pula aku mengenal watak suamiku yang baik, sabar dan pemaaf. Padahal aku ngotot ingin mengungkap ketidak-adilan yang dialaminya di media.

Untungnya semua berhasil diatasi. Belakangan aku tahu kalau suamiku semakin menaruh perasaan ketika aku dengan setia menemaninya selama proses klarifikasi. That’s my girl, he said. Bayangkan katanya, kamu sendiri belum begitu kenal aku, tapi bersedia menemani. Aku bilang, ini semua salahku. Jangankan kamu, siapapun itu pasti aku bela karena ini tidak adil.

Saat itu tidak ada pikiran menikah. Aku belum mengenalnya secara mendalam. Selama hidup, tidak pernah sedikitpun terpikir untuk menikah dengan orang asing dan tinggal di negara lain. Namun sejak peristiwa itu kami jadi saling membutuhkan. Ada hal positif bertemu dengan pasangan yang pas ketika sudah berumur. Perasaan yang tumbuh bukan seperti cinta menggebu kala masih remaja, melainkan cinta yang didasari kesadaran akan komitmen, penerimaan diri dan siap menerima resiko bersama.

Aku pernah batal menikah tahun 2007, ketika calon suamiku tidak siap dengan cita-citaku yang banyak, tidak siap dengan serentetan acara adat dan aturan main lainnya. Sejak kecil, aku memang punya banyak cita-cita (baca: kemauan) yang tidak mudah dipahami oleh para mantan pacar-pacarku. Setidaknya aku punya penilaian sendiri terhadap diriku, sehingga melajang atau menikah tidak terlalu menjadi masalah. Aku selalu yakin dibalik hal yang kita anggap buruk, ada suatu rencana yang lebih baik dan membuat kita lebih kuat menghadapi tantangan. Dan aku bersyukur ketika akhirnya mendapat yang terbaik.

Dari situ pula, aku belajar bahwa pernikahan yang dicampuri kata seharusnya, justru menghilangkan esensi dan maknanya. Akhirnya aku tiba pada suatu kesimpulan, pernikahan adalah hal sakral yang tidak perlu diatur standar orang lain, tidak perlu pesta meriah demi gengsi. Betapa senangnya ketika kita dapat merancang dan mengatur pernikahan sendiri. Di negara suamiku, mereka hanya bertanya seperti apa pernikahan yang kuinginkan. Setelah itu semuanya beres.

Aku juga tidak menyangka berkat dan keajaiban datang kepada kami silih berganti. Dokumen dan visa selesai pada waktunya, izin menikah lebih cepat keluar dibanding aturan normal. Banyak teman dan kerabat mendukung moril dan materiil, sehingga pernikahan kami di catatan sipil, gereja dan resepsi bisa berjalan lancar dalam satu hari.

Di negara tempat suamiku berasal, tidak ada yang ribut mengomentari gaun apa yang aku pakai, berapa harganya, apa bunganya, berapa jumlah tamunya, apa menunya, atau gedung mewahkah? Tidak perlu berdebat, siapa yang harus antri ke salon, tidak perlu perdebatan keluarga soal adat dan segudang kehebohan yang sering terjadi di Indonesia.

Segala perbedaan aturan, tata karma dan kebiasaan antar bangsa perlahan dapat kami atasi, kuncinya kemauan yang kuat dan pengertian dari satu sama lain. Untungnya aku mendapatkan pasangan yang lebih memilih berdiskusi dalam menyelesaikan masalah ketimbang marah tidak karuan. Di awal-awal hubungan tentu ada penyesuaian dalam berkomunikasi. Perempuan Indonesia sering memendam kekesalan dan segan berterus terang karena takut menyakiti pasangan. Sedangkan orang Eropa sangat spontan dan terus terang untuk menyatakan suka atau tidak suka pada saat itu juga. Mereka hampir tidak punya prasangka dan aku harus belajar menurunkan sensi, kalau tidak mau rugi sendiri.

Setelah menikah, aku harus kembali ke Indonesia. Perjuanganku masih panjang untuk mendapatkan izin tinggal dan bekerja di negara suamiku. Namun satu hal yang pasti, suka duka dan ketekunan yang kami alami justru semakin menguatkan.

Someone said, nun di suatu tempat, entah kapan waktunya, akan ada seseorang yang memang diperuntukkan bagi kita, yang harus kita kejar, yang harus kita perjuangkan. Hanya saja ketika peluang itu muncul kita perlu membuka hati dan siap menangkap dengan kerendahan hati Ini bukan sekedar penghibur bagi orang-orang yang masih ingin mendapat pasangan hidup, tapi nyata.

Pernikahan cuma keuntungan kecil ketika tiba-tiba saja orang berhenti memperbincangkan kelajangan kita. Tetapi mendapatkan soulmate (someones who knows to love you without being told) diatas usia 41 adalah keajaiban. Semoga pengalaman ini bermanfaat. Let a miracle coming into your lives. So you can tell everybody this is the best thing ever happened in your life.

*dimuat dalam Majalah MORE indonesia edisi januari 2011

Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)