Wednesday, January 25, 2006

WOMAN

EVERY WOMAN SHOULD HAVE..


...a feeling of control over her destiny...

...one old love she can imagine

going back to... and one who reminds

her how far she has come...

..one friend who always makes

her laugh... and one who lets her cry...


EVERY WOMAN SHOULD KNOW...

...how to fall in love without losing herself...

...how to quit a job, break up with a lover,


and confront a friend without ruining the friendship...

...when to try harder... and when to walk away...


...how to have a good time at a party she'd never choose to attend...

...how to ask for what she wants in a way that makes it most

likely she'll get it...

...that she can't change the length of her calves, the width of

her hips, or the nature of her parents...


...that her childhood may not have been perfect... but its over...

...what she would and wouldn't do for love or more...

...how to live alone... even if she doesn't like it...


...whom she can trust, whom she can't, and

why she shouldn't take it personally...



...where to go... be it to her best friend's kitchen table...


or a charming inn in the woods...

when her soul needs soothing...

...what she can and can't accomplish in a day... a month... and a year...







sumber: internet

OPINI DI HARIAN SIB

OPINI 23 APRIL 2003

PEREMPUAN DAN POLITIK

Mau apa sebenarnya perempuan? Itulah pertanyaan yang sering muncul dalam rapat-rapat DPR, baik di ibukota, maupun daerah-daerah, dalam pertemuan-pertemuan kelompok yang dihadiri laki-laki, dalam pertemuan dan diskusi beberapa komponen masyarakat, seperti partai politik, organisasi masyarakat, organisasi pengusaha dan organisasi keagamaan hingga kedai kopi. Timbulnya pertanyaan diatas, sekaligus pula mewakili dan melengkapi jawaban kondisi terpuruk di Indonesia: bahwa perempuan tidak termasuk dalam kelompok yang ‘diperhitungkan” di negara ini.

Keberhasilan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam parlemen- yang berlangsung “alot” hingga akhirnya dicapai keputusan untuk dicantumkan dalam UU Pemilu, hanyalah awal dari pekerjaan rumah yang masih harus ditindaklanjuti ke depan. Meskipun demikian, keputusan kuota 30% masih sering disikapi dengan sinis, dingin dan acuh tak acuh oleh beberapa kelompok masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Alasan yang dikemukakan berkisar tentang kapasitas dan kemampuan perempuan Indonesia, yang umumnya dinilai masih jauh dari harapan, sehingga kelompok ini lebih memilih untuk berpatokan pada sistem yang mengutamakan segi kualitas personal, bukan pada komposisi jumlah perempuan dan laki-laki.

Pertama-tama, ada baiknya kita mengkritisi terlebih dulu, beberapa pertanyaan mendasar yang kerap muncul sebagai respon keterlibatan perempuan dalam politik, yaitu: Mengapa isu politik begitu penting bagi perempuan? Apakah mayoritas warga negara perempuan di Indonesia yang berjumlah 57% ini sudah benar2 dipandang sebagai warga negara atau stake holder di negeri ini? Apakah keterwakilan perempuan dalam politik akan menjamin perbaikan kondisi negeri ini?

Isu politik begitu penting untuk perempuan, tak lain karena perempuan adalah bagian terbesar/mayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping mereka terus menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses pembuatan keputusan!

Secara normatif, tidak ada peraturan perundang-undangan dalam bidang politik yang mendiskriminasi perempuan. Namun dalam kenyataannya tingkat representasi perempuan di badan legislatif pada berbagai tingkatan, termasuk DPRD Tingkat II (kabupaten), DPRD Tingkat I (propinsi) dan DPR RI (nasional) masih sangat rendah, hingga dampaknya dalam kebijakan politik menjadi signifikan.

Di Indonesia jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota DPR hanya 9%, di kursi DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota, jumlah itu jauh lebih kecil lagi. Tidak ada seorang perempuanpun yang menjadi Gubernur di Indonesia dan hanya 5 orang perempuan (1,5%) menjabat sebagai bupati/walikota.

TABEL: PEREMPUAN DALAM LEMBAGA-LEMBAGA POLITIK DI INDONESIA PADA TAHUN 2002

LEMBAGA PEREMPUAN JUMLAH % LAKI-LAKI JUMLAH %

MPR
18 9,2
117 90,8

DPR
44 8,8
455 91,2

MA
7 14,8
40 85,2

BPK
0 0
7 100

DPA
2 4,4
43 95,6

KPU
2 18,1
9 81,9

Gubernur
0 0
30 100

Walikota/Bupati
5 1,5
331 98,5

Eselon IV & III
1,883 7,0
25,110 93,0

HAKIM
536 16,2
2,775 83,8

PTUN
35 23,4
150 76,6


Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2001

Ketika membicarakan keterlibatan perempuan dalam kebijakan dan keputusan politik, kita tidak berbicara tentang perempuan “kelas menengah-atas” yang relatif lebih beruntung dan kurang mendapat masalah, karena tidak punya persoalan meng-akses air bersih, mengakses pangan, kecukupan dalam akses dan peluang kesehatan, ketersediaan gaji untuk membiayai hidup termasuk berekreasi, ketersediaan pembantu rumah tangga dan baby sitter karena kemampuan ekonomi. Akan tetapi kita membicarakan sejumlah besar sekali perempuan petani, nelayan, buruh yang tidak punya akses dan peluang untuk mendapatkan, apalagi menentukan keputusan kredit usaha, perempuan yang menjadi korban pencemaran di daerah industri, perempuan yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang cukup, perempuan yang bersusah payah mendapatkan air bersih demi kesejahteraan keluarga, perempuan kelompok masyarakat adat yang terus tersingkirkan dari tanah mereka, perempuan yang dipaksa mengikuti program KB, perempuan yang jerih payahnya bekerja di sektor domestik tidak dinilai dan dihargai, perempuan yang mengalami kekerasan dan beban ganda dalam rumah tangga, perempuan miskin, perempuan yang diperdagangkan, yang dipaksa melacur karena miskin, perempuan yang dibayar murah, mengalami perlakuan diskrimininasi dalam upah serta eksploitasi lain, baik di dalam dan di luar negeri, berupa pelecehan dan pemerkosaan, para pengungsi perempuan dan anak-anak, jutaan anak perempuan yang tidak mendapat prioritas pendidikan karena keterbatasan ekonomi dan sistim patriarki, serta perempuan yang menderita karena terjebak dalam konflik dan kerusuhan, termasuk perempuan-perempuan yang bahkan tidak berhak menentukan atas tubuhnya sendiri dikarenakan eksploitasi media dan teknologi.

Fakta kepemimpinan presiden yang dijabat oleh seorang perempuan, ternyata tidak menjamin perubahan nasib dan kondisi perempuan di Indonesia, karena perempuan sebagai pejabat pemerintah, yang tidak dilandasi kepekaan gender justru menimbulkan keraguan, tanda tanya bahkan “bumerang” akan kemampuan kepemimpinan perempuan. Dan itu sangat disayangkan. Oleh karena itu, diperlukan jumlah keterlibatan dan partisipasi perempuan yang lebih besar, dengan maksud menimbulkan kesadaran kolektif akan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga diharapkan kesadaran ini akan mengantisipasi perencanaan dalam pembangunan, yang selama ini tidak memperhatikan partisipasi dan dampaknya terhadap perempuan.

Hambatan-hambatan psikologis yang menyingkirkan perempuan dalam ajang politik diantaranya adalah budaya patriarki, subordinasi perempuan dan persepsi terdalam bahwa public domain (wilayah publik) diperuntukkan bagi laki-laki. Bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintah dan bukan antara warga negara dengan pemerintah-walaupun hak-hak perempuan dijamin oleh hukum, retorika politik pemerintahan yang baik dan demokrasi partisipatoris.

Walaupun secara umum kesempatan untuk berorganisasi dibuka secara besar-besaran, namun menurut Khofifah Indar Parawansa[1], perempuan dalam arena politik seringkali menemui tantangan, dikarenakan pada satu pihak perempuan dikondisikan sebagai “ibu” yang seharusnya lebih banyak bersama keluarga, sementara seringkali sudah menjadi kebiasaan, banyak rapat-rapat partai politik diadakan pada malam hingga pagi hari.

Selain itu keterlibatan perempuan seringkali disalahtafsirkan dengan mengupayakan gender balance, dengan menempatkan perempuan sebanyak mungkin dalam suatu organisasi, namun bukan pada posisi kunci (pengambil keputusan)-hanya sebagai kelompok yang menyediakan konsumsi atau mengerjakan tugas-tugas administrasi.

Penggunaan langkah-langkah afirmatif dan kuota, adalah sebagai salah satu cara mendorong partisipasi perempuan dalam politik, yang sekaligus mengupayakan agar perempuan punya kesempatan sama dengan laki-laki untuk dan berani maju dan tampil memperjuangkan kepentingannya dalam arena politik-arena yang selama ini dikonotasikan sebagai dunia laki-laki. Sudah banyak negara di dunia yang berhasil menerapkannya seperti ..

Untuk itu diperlukan kampanye besar-besaran untuk menyadarkan perempuan agar menjadi pemilih yang loyal, pemilih yang cermat, melakukan aksi bersama : hanya akan memilih partai yang di dalamnya terwakili jumlah perempuan 30%.

Kemauan perempuan adalah berjuang merubah kebijakan yang tidak adil, yang selama bertahun-tahun merugikan perempuan, menghapus kebijakan yang menindas perempuan dan merebut posisi-posisi penting untuk ikut menentukan kebijakan negri ini, melalui upaya pengisian kursi-kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Kini peluang itu semakin terbuka dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya melalui program pendidikan dan penyadaran politik, pemberdayaan perempuan, meningkatkan kerjasama antar organisasi perempuan.



Caroline Pintauli Purba
YPSM Bina Insani, tinggal di Pematangsiantar.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ceramah disampaikan pada Seminar: Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah 8 Maret 2003 di Jakarta

Monday, January 23, 2006

PEREMPUAN DALAM LEMBAGA POLITIK?


TAHUKAH ANDA, Beberapa Jumlah Perempuan dalam Lembaga Politik Indonesia? Menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia, Mengapa penting bagi perempuan untuk ikut menjadi pembuat keputusan politik?

Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi:

a. Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman.
b. Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak.
c. Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa.
d. Isu-isu kekerasan seksual.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, sperti:
a. Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya; penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan. Misalnya; kasus perceraian.
Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti:

a. Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara cara anti kekerasan.
b. Perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.

Apa akibatnya jika jumlah perempuan dalam lembaga politik tidak berimbang?
Lebih dari setengah total jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan. Mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik.

Selama puluhan tahun lembaga-lembaga politik di Indonesia beranggotakan sebagian besar laki-laki dan menghasilkan keputusan-keputusan yang sangat dibentuk oleh kepentingan serta cara pandang yang mengabaikan suara perempuan. Dalam jumlah yang sedikit, suara perempuan tidak akan memiliki kesempatan untuk membawa perubahan yang berarti dalam proses pengambilan keputusan politik

Bagaimana meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik?
Memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan-keputusan politik

Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri.
Keterwakilan Perempuan dalam Sistem Pemilu
a. Distrik
Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif(caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya, sehingga caleg bertanggungjawab langsung ke pada pemilih
Caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain
b. Proporsional
Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol
Sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil.
c. Campuran
Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg
Mendesak setiap partai politik agar:
Mencantumkan kualifikasi/syarat-syarat menjadi caleg secara transparan, terbuka dan adil jender sebab dengan demikian perempuan dapat lebih mudah ikut serta berkompetisi mencalonkan diri.
Menyertakan minimal 20% caleg perempuan dan nama nama kandidat perempuan dituliskan berselang-seling dengan nama kandidat laki-laki
Menetapkan minimal 30% perempuan sebagai calon anggota pengurus partai politik
Mendesak pemerintah agar menetapkan UU Pemilu yang membolehkan pencalonan mandiri atau pengajuan kandidat independen sebab hal ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri tanpa harus lebih dulu menjadi anggota pengurus salah satu partai tertentu

Apa tindakan kita?

Mensosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan politik kepada media massa, lingkungan masyarakat dan keluarga.

Memberikan nilai/pandangan kepada lingkungan masyarakat dan keluarga sejak dini, tentang pentingnya peran perempuan dalam politik

Mendorong perempuan untuk berani mengisi jabatan-jabatan strategis dalam politik

Mendukung perempuan yang telah duduk dalam posisi-posisi startegis pembuat keputusan

Membuat jaringan kerja sama antara kelompok-kelompok perempuan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Mendesak pemerintah dan lembaga-lembaga formal negara lainnya untuk mendukung angka strategis untuk perempuan

Mendesak partai politik dan lembaga-lembaga/ormas lainnya untuk mendukung dan menerapkan peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Memilih kandidat perempuan dalam pemilu mendatang untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dalam politik

Sumber:cetro.or.id

Sunday, January 22, 2006

KLINIK PEJUANG


Suatu sore menjelang magrib, seorang Bapak Tua yang saya temui di sebuah jalanan sesuai perjanjian, membawa saya ke suatu tempat.

Saya menemukan alamat Bapak Tua melalui sebuah WEBSITE berjudul : KLINIK PEJUANG KECEWA. Gratis untuk pejuang atau orang yang merasa pernah menjadi pejuang.

Setelah melalui gang sempit berkelok-kelok di Jalan Gading, sampailah kami di sebuah rumah kecil dan sederhana. Di depannya tertulis dengan jelas : Klinik Pejuang.

“Kenapa saya harus membawa kamu ke tempat ini?” katanya. “Disinilah tempat dimana orang bisa keluar dari keinginan diri, dari kesombongan, keluar dari perasaan bahwa dirinyalah yang paling benar.”

Bapak Tua itu mengenakan jubah putih. Saya dituntun duduk pada sebuah bangku reot dan berdebu. Di depannya ada sebuah meja, di atasnya terdapat segelas air dan satu bungkusan berwarna coklat.

“Minumlah,” katanya. “Bubuk dalam bungkusan itu akan membuatmu segera melupakan dunia dan tidak merasakan apa-apa lagi kecuali ketenangan. Tidak akan ada patah hati, rasa bersalah, perasaan gagal, terbeban, rasa sakit, rasa diperalat, perasaan dibuang. Suatu tempat istirahat untuk orang-orang yang merasa dirinya sudah berjuang, untuk berpikir kembali atau mundur selamanya.”

Saya memandang sebentar ke arah bungkusan itu, membukanya pelan dengan tangan bergetar. Tak lama lagi, bahkan dalam satu menit nanti, saya akan pergi dari sekumpulan orang kejam dan mengecewakan seperti sekarang.

Didalam bungkusan terdapat serbuk putih yang mengeluarkan bau harum. Mengingatkan saya pada perpaduan bau cendana dan melati. Ah, tidak juga. Ada bau seperti bumbu mie instan bercampur bau daun kemangi.

Seketika, saya sudah tidak perduli lagi dengan bau-bauan itu. Yang penting, seperti petunjuk yang saya baca, bubuk ini akan membebaskan rasa sakit, lelah dan dari ambisi mengubah dunia.

Ssrht, ssrht. Saya menuang bubuk itu ke dalam mulut. Rasa pahit menjalar ke seluruh lidah saya, ke langit-langit dan tenggorokan. Bahkan gigi saya seakan beradu satu sama lain saat bersentuhan dengan bubuk itu. Saya mencoba menahan muntah.

Dengan cepat, saya meraih gelas di depan saya dan segera meminumnya. Glek..glek..glek. Saya meminumnya sampai habis, sambil berusaha menghilangkan rasa tak karuan yang ditimbulkan serbuk tadi.

Rasa pahit itu hilang. Tubuh saya mulai kegerahan. Rasa kantuk menyerang dan bobot tubuh saya menjadi ringan, seakan mau melesat.

Samar-samar Saya melihat bayangan Bapak tua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk, semakin jauh, semakin samar, untuk akhirnya menghilang.

Ternyata saya benar-banar melayang seperti roket. Saking cepatnya, ujng rok saya berkibar seperti bendera. Angin malam menerpa wajah saya yang tadinya keringatan. Sungguh menyejukkan. Saya terbuai akan kenikmatan yang belum pernah saya rasakan.

Setelah beberapa menit perasaan nyaman itu hilang. Kaki saya kembali menginjak bumi. Saya berada dalam suatu ruangan warna merah berbaur putih, yang di dindingnya banyak terdapat gambar abstrak. Sepertinya melukiskan peperangan.Begitu memusingkan.

Dihadapan saya terhampar sebuah arena, sebesar arena pameran Pekan Raya di Jakarta. Hanya saja semuanya dalam bentuk mini, sehingga saya bisa melihatnya hanya dengan mengitar. Semuanya begitu jelas. Kira-kira ada tigapuluhan arena. Ketika menegok setiap kejadian dalam arena itu seperti menonton dunia kecil pertunjukkan boneka.

Saya bertanya-tanya, inikah neraka? Mengapa tidak ada api atau penjaga dengan tampang seram, seperti yang diceritakan banyak orang. Apakah neraka sudah berubah menjadi ajang mempertontonkan sesuatu, seperti dalam ruang pameran perumahan, computer atau furniture? Apakah neraka bukan lagi tempat menghukum orang berdosa?

Saya memilih berjalan kearah bagian yang paling ramai karena disana banyak manusia berkeliaran sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Sepertinya mereka saling menyalahkan satu sama lain. Jumlahnya sekitar 500 ratusan lebih, dengan baju berwarna warni, mulai dari merah, kuning, hijau, biru, oranye dan juga abu-abu. Ada juga yang berpakaian putih, namun tidak berapa banyak.

Suara mereka terdengar dengan begitu jelas. Ada yang mengusulkan ketua partai tidak boleh merangkap jabatan, ada yang sedang berdebat soal ideologi partai dan ada pula yang sedang melaksanakan musyawarah besar untuk mengganti pimpinan mereka yang korupsi. Rupanya yang berpakaian putih adalah mereka yang baru saja mengundurkan diri.

Saya terheran-heran. Inikah hukuman bagi saya?, melihat sesuatu yang menjengkelkan seperti di dunia? Sesuatu yang seharusnya ingin saya tinggalkan, yang tidak ingin saya lihat. Kenapa harus ada dan terlihat lagi di sini?

Saya berpaling ke sebelah, dimana sekumpulan manusia sedang meratapi penderitaan mereka. Sekumpulan ibu-ibu dan anak-anak yang sedang dijaga aparat tentara. Mereka seolah terkepung di kampung mereka sendiri, tanpa makanan. Beberapa orang terlihat sedang melempar makanan dari luar gerbang. Ada apa pula ini? Kemana para suami dan anak laki-laki mereka pergi?

Saya menjadi muak dan berlari ke ujung ruangan. Disana keadaannya lebih parah. Asap mengepul di udara seiring dengan pembakaran rumah-rumah pelacuran dan tempat perjudian. Ada lagi pemandangan penggusuran tempat-tempat gelandangan karena dianggap mengotori pemandangan. Di mobil-mobil para aparat penggusur tertulis : Pemberantasan Kemiskinan. Hati saya remuk. Tubuh saya limbung dan serasa terjatuh di kubangan air dingin. Begitu dingin dan lengket.

Ternyata di sana ada banyak manusia terendam air setinggi leher, seperti yang baru saya lihat beberapa waktu lalu, saat banjir melanda Jakarta.

Saya merasakan air itu juga membasahi baju saya. Kotor dan bau amis seperti di pasar ikan. Saya memejamkan mata karena ngeri. Ada sesuatu di bawah sana yang menjalari paha saya. Mungkin ular atau seonggok mayat. Berjam-jam saya ketakutan, berjam-jam saya terdiam, mungkin sampai pingsan.

Ketika bangun saya berada dalam sebuah ruangan yang penuh dengan wajah-wajah yang saya kenal. Mereka sedang sibuk menolong para korban banjir melalui pengumpulan sembako dan pakaian bekas.

Saya berteriak-teriak, bukankah seharusnya mereka menggelar aksi penyadaran lingkungan dan mengkritisi kebijakan pembangunan, bukannya ikut-ikutan menggelar posko banjir. Sekarang saatnya!

Tetapi sepertinya mereka tidak mengenal saya. Suara mereka terdengar jelas, namun mereka tidak mendengar suara saya ataupun merasakan kehadiran saya. Saya frustasi. Melalui sebuah pintu satu-satunya di ruangan itu, saya beranjak pergi.

Diluar sana kelihatannya lebih sepi. Hanya terlihat padang rumput hijau yang begitu luas, saking luasnya menimbulkan cahaya hijau menyilaukan. Mungkin inilah tempat yang dijanjikan Bapak Tua itu, sebuah tempat nyaman dimana kita tidak lagi merasakan kecewa dan sakit.

Tetapi lama kelamaan pemandangan hijau itu berubah menjadi serombongan anak sekolahan dengan seragam hijau. Rupanya merekalah rumput-rumput yang menyilaukan itu. Mereka terdiri dari anak laki-laki dan perempuan berusia sekitar 10 sampai 11 tahun, berjejer membuat untaian.

Saya menepuk pundak seorang diantaranya. Seorang anak laki ingusan berwajah lugu. Tiba-tiba saya terkejut melihat wajahnya mirip Seno, seorang anak desa di Pegunungan Meratus. Seorang bocah yang walaupun sudah duduk di kelas lima SD, namun belum mampu menulis kata ‘singkong’.

“Apakah Ibu akan datang lagi untuk mengajar kami?” Anak itu bertanya persis seperti yang Seno katakan setahun lalu. Ketika itu guru mereka yang hanya datang 2 kali dalam seminggu tidak masuk. Seno dan anak-anak lainnya harus menempuh perjalanan selama satu jam ke sekolah. Setelah melalui duabelas sungai deras dan hutan karet, mereka harus kecewa. Guru mereka tidak muncul. Dan negara ini tidak menyediakan gaji untuk sukarelawan.

Saya tertegun. Bukankah sekolah mereka sudah roboh karena lapuk dan tidak memenuhi syarat jumlah murid?

Tiba-tiba perut saya mual lagi. Saya berlari tak tentu arah. Hanya berlari dan berlari. Kelopak mata saya terasa pedih akibat kurang tidur. Mungkin juga berair karena tangis.

Saya mengumpat. Bapak Tua itu sudah membohongi saya! Mengapa perasaan bersalah, perasaan tidak mampu dan sakit itu masih saya rasakan disini, di dada ini. Dan sekarang wajah-wajah yang menagih janji bermunculan memenuhi kepala saya.

Akhirnya pelarian saya sampai di sebuah ruangan bertanda. Di sebelah kiri bertuliskan “pejuang” dan di sebelah kanan bertuliskan “rasa aman”. Dengan cepat saya berlari ke arah kanan dan anehnya tiba-tiba saja rasa mual itu hilang.

Tubuh saya seakan meluncur ringan ke suatu tempat lainnya. Suatu tempat penuh sesak manusia. Kedatangan saya seolah tidak mereka sadari, tidak berarti apa-apa, atau memang tidak ada yang perduli. Masing-masing hanya diam dengan tatapan kosong. Mereka tidak melakukan apa-apa. Ada yang duduk, ada yang berdiri, ada yang diam seperti suasana jamuan teh, namun tidak ada teh ataupun penganan kecil.

Saya hanya terpaku beberapa menit dan mulai merasa bosan.

Tak lama kemudian terdengar bunyi keras seperti halilintar. Sebuah petunjuk arah kembali muncul, yang satu bertuliskan “pejuang” dan satunya lagi “tidak perduli”.

Tiba-tiba saya berpikir betapa sakitnya berada bersama orang-orang yang tidak melakukan apa-apa ini. Bagaimana dengan tempat yang disebut “tidak perduli”, apakah lebih parah dari tempat ini? Saya tidak ingin mengambil resiko. Mungkin lebih baik merasakan sakit daripada tidak merasakan apa-apa.

Sebelum tanda itu hilang, dengan satu hentakan saya berlari ke arah tanda “pejuang”. Kembali rasa mual, ditambah keletihan melanda tubuh saya.

Saya tidak tahu jam berapa atau sudah berapa lama saya berjalan. Hanya lorong gelap, dingin dan berbau lembab yang saya lalui, menuju suatu tempat. Entah kemana, saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak ingin diam bersama mayat-mayat hidup sebelumnya dan berharap lorong ini segera berakhir.

Akhirnya sebuah pemandangan terang menuntun saya. Seperti yang sudah-sudah, saya menemui dua pilihan pintu yang kali ini berwarna. Yang pertama berwarna hitam dengan tulisan putih “pejuang” (lagi). Yang satunya berwarna putih dengan tulisan hitam “menyerah”.

Saya kelelahan dan ingin tidur. Kegelapan menyelimuti ruangan itu, seperti gelapnya warna pintu di depan saya. Saya yakin jatuh di pintu “pejuang”, karena tempat itu terasa lebih dekat dengan nurani saya.

Pintu hitam terbuka. Bapak Tua berjubah putih didampingi dua orang berpakaian dokter sedang merapikan dan mencopot kabel-kabel dari tubuh seorang perempuan. Pada pakaian seragam mereka tertulis cyber pejuang.com.

Untuk pejuang..yang mendengar suara-suara kecil..suara-suara yang tak terdengar..suara-suara yang tak didengar..suara-suara yang tidak ingin didengar..suara rakyat, suara yang seharusnya diwakilkan.



(caroline pintauli, dikutip dari Kalender Bumi 2000: suara-suara kecil )

-tamat-



Jakarta, 27 Februari 2002

· Direktur Visi-90, memfasilitasi pengembangan media informasi sederhana dan modul pendidikan kritis-partisipatif bagi masyarakat akar rumput.

· Tulisan yang pernah dipublikasikan, Dicari Pahlawan Lingkungan (Opini) dimuat Harian Sinar Harapan 10 Juli 2001, Agreement on Agriculture-Debt Watch Indonesia, Gugatan Kelas-YLKI, panduan investigasi lingkungan dan beberapa seri informasi globalisasi.

DIcari Pahlawan Lingkungan

Tulisan pertamaku Sinar Harapan, 10 Juli 2001

Dicari Pahlawan Lingkungan

Oleh: Caroline Pintauli

Seorang perempuan biasa bernama Erin Brockovitch ikut andil dalam memenangkan US$ 333 juta, atas ganti rugi pencemaran lingkungan. Tidak mengherankan jika film ini mengantar Julia Roberts meraih Piala Oscar 2001. Seandainya cerita dari kota kecil Hinkley dengan setting Tahun 1993 ini bukan kejadian sebenarnya, mungkin kita menganggap Erin B. adalah pahlawan film, layaknya Rambo. Apalagi kita sadar, kemenangan korban pencemaran lingkungan, belum pernah terjadi, bahkan sulit terjadi sepanjang 20 tahun lebih gerakan lingkungan di Indonesia! Kasus pencemaran lingkungan di negara ini sering tidak tuntas, dengan alasan tidak cukup data atau bukti. Kalaupun sampai pengadilan, belum pernah menang, atau menghasilkan keputusan ganti rugi yang mamadai, baik atas nama korban maupun lingkungan. Perusahaan pencemar lebih lihai dalam berkelit dan lebih punya argumen dalam membantah bukti.Advokasi kasus lingkungan memang butuh kerja keras dan sikap konsisten. Di dalamnya ada investigasi cermat, biaya besar, waktu panjang, ketahanan mental serta kreativitas dalam menghadapi ancaman dan hambatan. Yang dimaksud dengan hambatan adalah tertutupnya informasi perusahaan, ketersediaan data akurat, dokumentasi pemerintah yang amburadul, kolusi pejabat dan sebagainya. Belum lagi kesabaran dalam menggali keterangan, karena masyarakat korban takut intimidasi. Kasus lingkungan bisa berakhir dengan kepasrahan menerima nasib, karena kasus terlupakan oleh publik, menunggu tinjauan ulang hingga berujung amuk massa dan kerusuhan. Sebagai contoh, PT Inti Indo Rayon Utama yang mencemari Sungai Asahan, menghabiskan waktu lebih dari 15 tahun untuk ditutup. Itupun belum tuntas karena masih harus mendengar pendapat semua stakeholder, audit ulang dan diwarnai pro-kontra masyarakat. PT Freeport Indonesia telah menghabiskan 30 tahun negosiasi masyarakat Amungme dan Kamoro di sekitar lahan konsesi. Limbah tailingnya pernah beberapa kali menjebolkan Danau Wanagon. Kontrak karya (KK) April 1967 dibuat tanpa keterlibatan masyarakat Papua. Pembuangan limbah batuan dalam jumlah yang sangat besar juga menimbulkan perubahan bentang alam (geomorfologi), mudah longsor, dan perubahan habitat flora akibat penimbunan. Ada lagi kasus Newmont. Pemerintah akan dirugikan minimal Rp 106,8 miliar/tahun, apabila PT Newmont Minahasa Raya (NMR) ditutup, termasuk di antaranya kerugian akibat hilangnya pajak dan non pajak sebesar Rp 85,5 miliar/tahun. Kecuali itu sekitar 2.800 karyawan terancam kehilangan pekerjaan.Kasus limbah import, merebak bulan April 2000. Pengusaha Singapura masih "mencari” lokasi khusus, sebagai tempat membuang tanah galian terowongan, Mass Rapid Transit (MRT, kereta api bawah tanah Singapura) yang diduga mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun). Keuntungan yang didapat Pemda dari 30 juta meter kubik limbah import adalah senilai Rp 120 miliar. Sebuah kompensasi yang menggiurkan dibandingkan dengan harga diri menjadi negara tempat pembuangan limbah.Kasus lingkungan seringkali disertai pelanggaran hak azasi manusia, pencaplokan tanah ulayat, dampak sosial, kerugian ekonomi, konflik horisontal dan penderitaan yang kompleks. Bila diambil benang merahnya, kasus lingkungan di Indonesia selalu terkait dengan kepentingan pemodal, kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, aparat yang tidak tegas, dan sanksi hukum yang lemah. Hal ini berdampak dapat dibatalkannya atau ditinjaunya suatu keputusan oleh kepentingan lain yang lebih prioritas: ekonomi negara.Sebenarnya undang-undang kita mampu mengakomodir persoalan lingkungan, tetapi sulitnya menempatkan persoalan lingkungan dalam prioritas negara ini, dibanding keuntungan materil yang didapat dari perusakannya. Bila kondisi ini tidak diperbaiki, maka bisa diramalkan, penyelesaian kasus lingkungan akan semakin jauh dari harapan. Menjadi aktivis lingkunganpun dapat terjebak dalam rutinitas program atau proyek, sehingga lupa berjuang bersama masyarakat, namun sering mengatas-namakan mereka. Hal yang patut diteladani dari Erin Brockovitch adalah semangat dan sikap konsistennya dalam mendampingi korban pencemaran, rajin mencari bukti baru untuk menguatkan posisi tawar masyarakat. Dan yang lebih lagi, keseriusannya dalam menggalang opini.Tetapi untuk negara ini, aktivis lingkungan dan masyarakat masih harus "bertarung” dengan pemilik modal, pengawasan perundang-undangan dan hukum yang lemah, pemerintahan yang belum punya perspektif lingkungan, media pemilih berita, trend isu Sidang Istimewa dan mayarakat apatis yang dilanda krisis. Pengacara yang punya komitmen terhadap lingkunganpun tidak berapa banyak. Ditambah lagi dengan sulitnya melobby tokoh politik "yang dulu banyak janji” untuk memperjuangkan lingkungan, namun hilang ditelan kesibukan lain. Mungkin perlu digagas pendidikan dan penyadaran lingkungan yang lebih riil bagi MPR, DPR, para menteri, hakim, pengacara, Polri, Pemda maupun pihak-pihak lain dalam meningkatkan sense of environmental. Mungkin sudah saatnya mengikutsertakan pendidikan lingkungan dalam kurikulum sekolah. Merancang kebijakan lingkungan yang tidak tumpang tindih dengan kebijakan lain. Menggelar "boikot” bagi perusahaan yang tidak ramah lingkungan, juga bisa dijadikan alternatif.Kasus lingkungan bukan sekedar soal ganti rugi, tetapi juga soal hak azasi manusia, demokrasi dan keberlangsungan kehidupan generasi mendatang.
Penulis adalah, aktivis lingkungan tinggal di Jakarta.
Copyright © Sinar Harapan 2001
Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)