Saturday, February 18, 2006

POLITIK TIDAK BERHENTI PADA MALAM MINGGU

The Prospect is published by The Indonesian Institute. Our messages are democracy, unity and prosperity.

Saturday, Feb. 18, 2006

More articles...
Klinik Pejuang


Dialog Politik

Politik Tidak Berhenti Pada Malam Minggu (tulisan saya tahun 2002 dimuat dalam http://www.theindonesianinstitute.org-berpusat di iowa)

Caroline Pintauli Purba


Apa yang dikerjakan seorang lajang pada Malam Minggu? Tentunya banyak alternatif, apalagi jika orang tersebut berasal dari kelas menengah ke atas. Setelah berkutat dengan kesibukan kerja atau kuliah, para lajang kota besar seperti Jakarta, biasanya menghabiskan Malam Minggu dengan mengunjungi mall, atau sekedar minum di cafe, nonton film, karaoke, main bowling, main bilyar atau pergi ke diskotik bersama teman-teman. Bagi yang hobby nonton bola, bisa dipastikan siap di depan TV dengan kacang kulit dan bir.
Ada juga yang berkumpul di suatu tempat, seperti komunitas diskusi puisi, teater, agama, filsafat, buku dan film. Biasanya pada Malam Minggu juga sering diadakan pertunjukkan balet kontemporer, teater, wayang orang, berbagai pameran atau konser musik sampai launching buku. Kelompok yang senang petualangan bebas, sudah berangkat sejak Jumat Malam untuk memadati daerah pegunungan, pantai, arena balap mobil atau daerah peristirahatan yang sejuk. Kemajuan teknologi juga memudahkan para lajang yang tak ingin keluar rumah. Ada game di komputer, TV kabel, menjelajahi situs internet, ngobrol-chat. Semua acara dan kegiatan diharapkan memberi hiburan, kesenangan dan kenyamanan. Apalagi mengingat situasi dan kondisi negara ini semakin tak menentu, sehingga sah-sah saja ketika setiap orang mencari pelampiasan kesumpekan. Namun saya yakin, tak seorangpun merencanakan Dialog Politik Pada Malam Minggu. Kalaupun ada, tentunya terdapat dua kemungkinan : Pertama, dia seorang pemikir serius yang dengan sengaja meluangkan waktu dan yang kedua, dia seorang yang terjebak dalam kondisi itu. Dan Pada Malam Minggu yang diwarnai hujan deras dengan disertai guntur menggelegar, saya berada dalam kondisi kedua. Mulanya hanya memenuhi panggilan seorang istri anggota DPR, yang meminta saya membantu membereskan proposal program pelatihan sebuah organisasi wanita. Namun kelanjutannya adalah makan sore dan minum kopi, lalu kabel komputer yang rusak. Agar bisa membaca apa yang sudah saya tulis, kami harus menunggu kabel baru.
Hal itu biasa saja. Namun yang luar biasa adalah, ketika sang suami yang termasuk vokal dalam menggalang opini pembentukkan Pansus Bullogate II dan pemutihan pajak pendapatan, malah memberi kuliah sore. Saya masih ingat, sejak 20 tahun lalu Bapak DPR ini memang suka berdebat soal politik. Bahkan bisa dibilang disetiap kesempatan, mulai dari meja makan sampai acara nonton TV kalau bisa diisi sepenuhnya untuk pembicaraan substansial dan bermutu. Kami yang waktu itu masih remaja sering lari menghindar dengan berbagai alasan, tentunya diiringi omelan panjang lebar, ‘tidak memikirkan republik’, ‘generasi cuek’, ‘generasi santai’, ‘buta politik’, ‘pemalas’, ‘tidak berwawasan’ dan lain sebagainya.
Itu dulu. Sekarang keadaannya jauh berbeda. Pekerjaan dan minat saya justru mengharuskan saya menggali informasi sebanyak-banyaknya langsung dari seorang wakil rakyat. Sebuah predikat yang akhir-akhir ini seringkali digugat, karena pada prakteknya jauh dari harapan. Singkat kata, terjadilah dialog mulai dari bisnis militer, kebebasan informasi, pajak yang tidak dilaporkan, selebritis pembicara masalah politik di TV, mengapa Megawati tidak tegas dalam menyikapi Kasus Bulog, Politik Balas Budi, Taufik Kemas, Amandemen UUD 45, Korupsi ala DPR, Pendidikan Politik, Pemilu 2004, kebrengsekan Partai Pemilu 1999, Hutang Luar Negri, Globalisasi, Tommy Soeharto, Kepemimpinan Nasional, Sekolah di Luar Negri, Tragedi WTC 11 September, Kelesuan Ekonomi Amerika, Kebijakan Fiskal, Harga Minyak Bumi, Demokrasi di Amerika beserta syarat pendukungnya, Rekayasa Isu Teroris, Penjualan Senjata, Perbandingan Parlemen di Luar Negri dan di Indonesia, Civil Society, isu penghancuran ornop, sejarah PKI, sampai kepada perubahan sistim Pemilu dan bagaimana menghancurkan kekuatan tentara. Cukuplah. Kepala saya sekarang dipenuhi begitu banyak masalah!
Setelah berdiskusi lebih dari 5 jam, saya pulang hanya dengan membawa satu buku pinjaman. Agak pelit memang, namun setidaknya ada yang bisa dibawa, untuk sekedar membuktikan bahwa Bapak DPR yang budiman jangan sekedar provoke, berharap generasi muda untuk berbuat sesuatu, namun pelit dalam menyediakan fasilitas.
Setidaknya Malam Minggu kali ini menjadi lain dibanding biasanya. Apalagi di kantung baju saya, ada ongkos tambahan dari sang istri, cukup untuk mentraktir 10 orang makan bakso. Saya membayangkan sepulangnya dari Rumah Bapak DPR, saya bisa santai, makan malam, mandi, nonton angin malam lalu tidur nyenyak. Namun entah kenapa kendaraan yang saya tunggu tidak muncul-muncul. Terpaksa saya harus berjalan kaki ke tempat perhentian yang satunya. Karena tak tahan lapar, saya memasuki sebuah restoran padang di kawasan Pramuka. Ketika akan duduk, tiba-tiba ada yang memanggil nama saya. Rupanya seorang aktivis senior yang juga sedang makan di restoran itu. Beliau memperkenalkan saya pada dua orang temannya dari Maluku. Lagi-lagi saya terjebak dalam diskusi politik, namun topiknya seputar teori-teori kekuasaan, tentang kebenaran yang tidak perlu dibela mati-matian, Albert Camus, Machiavelli, Kerusuhan Ambon, tentara bayaran dan korupsi LSM. Sambil menikmati traktiran makan malam, Saya berpikir ada apa lagi setelah ini? Saya tidak berharap ketemu orang yang berdiskusi politik di dalam bis nanti. Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam, dialogpun harus diakhiri. Itupun setelah ada telephone dari rumah. Syukurlah!
Dalam bis penuh sesak, saya sempat tersenyum melihat seorang pemuda sedang mengutarakan cinta kepada kekasihnya. Timbul pertanyaan, akankah lebih mudah jika kita buta politik, sehingga hidup menjadi lebih sederhana, tidak memusingkan?
Siapa yang berhak menilai atau bahkan menentukan bahwa Malam Minggu yang “normal” harus dijalani dengan kesenangan yang tidak berbau politik? Lalu siapa yang menyuarakan nasib orang-orang yang berdesakan dalam bis ini, karena pada kenyataannya hal inipun terkait dengan kebijakan politik. Bukankah generasi sekarang seharusnya justru lebih berperan serius memikirkan solusi terbaik menggantikan angkatan lama? Apakah saya sudah mensubstansialkan diri menjadi “Bapak DPR 20 Tahun” yang lalu?
Sejak dialog Sabtu itu, Bapak DPR sering meminta saya datang, khusus untuk berdiskusi. Sejak saat itu, bapak aktivis lama meminta saya untuk menjadi konsultan sebuah LSM di Maluku, tentunya dengan fasilitas dan honor yang memadai (walau saya sebenarnya tidak berharap). Dua bulan lagi, saya akan berangkat ke Ambon membantu program pemberdayaan masyarakat. Hidup memang penuh misteri. Semua berawal dari Saturday Night’ Dialogue. Tidak ada yang mengharuskan, bahwa sebaiknya diskusi politik berhenti pada malam Minggu. Mungkin sebaiknya diskusi politik tidak dibatasi oleh hari. Bahkan sikap kritis dan kesadaran politik justru harus ditumbuhkan, agar bangsa ini tidak mengulangi kesalahan pendahulunya, tidak pasif dalam menyikapi perkembangan dunia dan yang jelas dapat berkontribusi memikirkan masa depan bangsa. Saya sudah tercebur di dalamnya, merasakan pesona dan keruwetannya.


* Direktur Visi-90, memfasilitasi pengembangan media informasi sederhana dan modul pendidikan kritis-partisipatif bagi masyarakat akar rumput.

Last updated 4/22/02
© 2002 The Prospect and The Indonesian Institute, All Rights Reserved.

Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)