Sunday, January 22, 2006

KLINIK PEJUANG


Suatu sore menjelang magrib, seorang Bapak Tua yang saya temui di sebuah jalanan sesuai perjanjian, membawa saya ke suatu tempat.

Saya menemukan alamat Bapak Tua melalui sebuah WEBSITE berjudul : KLINIK PEJUANG KECEWA. Gratis untuk pejuang atau orang yang merasa pernah menjadi pejuang.

Setelah melalui gang sempit berkelok-kelok di Jalan Gading, sampailah kami di sebuah rumah kecil dan sederhana. Di depannya tertulis dengan jelas : Klinik Pejuang.

“Kenapa saya harus membawa kamu ke tempat ini?” katanya. “Disinilah tempat dimana orang bisa keluar dari keinginan diri, dari kesombongan, keluar dari perasaan bahwa dirinyalah yang paling benar.”

Bapak Tua itu mengenakan jubah putih. Saya dituntun duduk pada sebuah bangku reot dan berdebu. Di depannya ada sebuah meja, di atasnya terdapat segelas air dan satu bungkusan berwarna coklat.

“Minumlah,” katanya. “Bubuk dalam bungkusan itu akan membuatmu segera melupakan dunia dan tidak merasakan apa-apa lagi kecuali ketenangan. Tidak akan ada patah hati, rasa bersalah, perasaan gagal, terbeban, rasa sakit, rasa diperalat, perasaan dibuang. Suatu tempat istirahat untuk orang-orang yang merasa dirinya sudah berjuang, untuk berpikir kembali atau mundur selamanya.”

Saya memandang sebentar ke arah bungkusan itu, membukanya pelan dengan tangan bergetar. Tak lama lagi, bahkan dalam satu menit nanti, saya akan pergi dari sekumpulan orang kejam dan mengecewakan seperti sekarang.

Didalam bungkusan terdapat serbuk putih yang mengeluarkan bau harum. Mengingatkan saya pada perpaduan bau cendana dan melati. Ah, tidak juga. Ada bau seperti bumbu mie instan bercampur bau daun kemangi.

Seketika, saya sudah tidak perduli lagi dengan bau-bauan itu. Yang penting, seperti petunjuk yang saya baca, bubuk ini akan membebaskan rasa sakit, lelah dan dari ambisi mengubah dunia.

Ssrht, ssrht. Saya menuang bubuk itu ke dalam mulut. Rasa pahit menjalar ke seluruh lidah saya, ke langit-langit dan tenggorokan. Bahkan gigi saya seakan beradu satu sama lain saat bersentuhan dengan bubuk itu. Saya mencoba menahan muntah.

Dengan cepat, saya meraih gelas di depan saya dan segera meminumnya. Glek..glek..glek. Saya meminumnya sampai habis, sambil berusaha menghilangkan rasa tak karuan yang ditimbulkan serbuk tadi.

Rasa pahit itu hilang. Tubuh saya mulai kegerahan. Rasa kantuk menyerang dan bobot tubuh saya menjadi ringan, seakan mau melesat.

Samar-samar Saya melihat bayangan Bapak tua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk, semakin jauh, semakin samar, untuk akhirnya menghilang.

Ternyata saya benar-banar melayang seperti roket. Saking cepatnya, ujng rok saya berkibar seperti bendera. Angin malam menerpa wajah saya yang tadinya keringatan. Sungguh menyejukkan. Saya terbuai akan kenikmatan yang belum pernah saya rasakan.

Setelah beberapa menit perasaan nyaman itu hilang. Kaki saya kembali menginjak bumi. Saya berada dalam suatu ruangan warna merah berbaur putih, yang di dindingnya banyak terdapat gambar abstrak. Sepertinya melukiskan peperangan.Begitu memusingkan.

Dihadapan saya terhampar sebuah arena, sebesar arena pameran Pekan Raya di Jakarta. Hanya saja semuanya dalam bentuk mini, sehingga saya bisa melihatnya hanya dengan mengitar. Semuanya begitu jelas. Kira-kira ada tigapuluhan arena. Ketika menegok setiap kejadian dalam arena itu seperti menonton dunia kecil pertunjukkan boneka.

Saya bertanya-tanya, inikah neraka? Mengapa tidak ada api atau penjaga dengan tampang seram, seperti yang diceritakan banyak orang. Apakah neraka sudah berubah menjadi ajang mempertontonkan sesuatu, seperti dalam ruang pameran perumahan, computer atau furniture? Apakah neraka bukan lagi tempat menghukum orang berdosa?

Saya memilih berjalan kearah bagian yang paling ramai karena disana banyak manusia berkeliaran sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Sepertinya mereka saling menyalahkan satu sama lain. Jumlahnya sekitar 500 ratusan lebih, dengan baju berwarna warni, mulai dari merah, kuning, hijau, biru, oranye dan juga abu-abu. Ada juga yang berpakaian putih, namun tidak berapa banyak.

Suara mereka terdengar dengan begitu jelas. Ada yang mengusulkan ketua partai tidak boleh merangkap jabatan, ada yang sedang berdebat soal ideologi partai dan ada pula yang sedang melaksanakan musyawarah besar untuk mengganti pimpinan mereka yang korupsi. Rupanya yang berpakaian putih adalah mereka yang baru saja mengundurkan diri.

Saya terheran-heran. Inikah hukuman bagi saya?, melihat sesuatu yang menjengkelkan seperti di dunia? Sesuatu yang seharusnya ingin saya tinggalkan, yang tidak ingin saya lihat. Kenapa harus ada dan terlihat lagi di sini?

Saya berpaling ke sebelah, dimana sekumpulan manusia sedang meratapi penderitaan mereka. Sekumpulan ibu-ibu dan anak-anak yang sedang dijaga aparat tentara. Mereka seolah terkepung di kampung mereka sendiri, tanpa makanan. Beberapa orang terlihat sedang melempar makanan dari luar gerbang. Ada apa pula ini? Kemana para suami dan anak laki-laki mereka pergi?

Saya menjadi muak dan berlari ke ujung ruangan. Disana keadaannya lebih parah. Asap mengepul di udara seiring dengan pembakaran rumah-rumah pelacuran dan tempat perjudian. Ada lagi pemandangan penggusuran tempat-tempat gelandangan karena dianggap mengotori pemandangan. Di mobil-mobil para aparat penggusur tertulis : Pemberantasan Kemiskinan. Hati saya remuk. Tubuh saya limbung dan serasa terjatuh di kubangan air dingin. Begitu dingin dan lengket.

Ternyata di sana ada banyak manusia terendam air setinggi leher, seperti yang baru saya lihat beberapa waktu lalu, saat banjir melanda Jakarta.

Saya merasakan air itu juga membasahi baju saya. Kotor dan bau amis seperti di pasar ikan. Saya memejamkan mata karena ngeri. Ada sesuatu di bawah sana yang menjalari paha saya. Mungkin ular atau seonggok mayat. Berjam-jam saya ketakutan, berjam-jam saya terdiam, mungkin sampai pingsan.

Ketika bangun saya berada dalam sebuah ruangan yang penuh dengan wajah-wajah yang saya kenal. Mereka sedang sibuk menolong para korban banjir melalui pengumpulan sembako dan pakaian bekas.

Saya berteriak-teriak, bukankah seharusnya mereka menggelar aksi penyadaran lingkungan dan mengkritisi kebijakan pembangunan, bukannya ikut-ikutan menggelar posko banjir. Sekarang saatnya!

Tetapi sepertinya mereka tidak mengenal saya. Suara mereka terdengar jelas, namun mereka tidak mendengar suara saya ataupun merasakan kehadiran saya. Saya frustasi. Melalui sebuah pintu satu-satunya di ruangan itu, saya beranjak pergi.

Diluar sana kelihatannya lebih sepi. Hanya terlihat padang rumput hijau yang begitu luas, saking luasnya menimbulkan cahaya hijau menyilaukan. Mungkin inilah tempat yang dijanjikan Bapak Tua itu, sebuah tempat nyaman dimana kita tidak lagi merasakan kecewa dan sakit.

Tetapi lama kelamaan pemandangan hijau itu berubah menjadi serombongan anak sekolahan dengan seragam hijau. Rupanya merekalah rumput-rumput yang menyilaukan itu. Mereka terdiri dari anak laki-laki dan perempuan berusia sekitar 10 sampai 11 tahun, berjejer membuat untaian.

Saya menepuk pundak seorang diantaranya. Seorang anak laki ingusan berwajah lugu. Tiba-tiba saya terkejut melihat wajahnya mirip Seno, seorang anak desa di Pegunungan Meratus. Seorang bocah yang walaupun sudah duduk di kelas lima SD, namun belum mampu menulis kata ‘singkong’.

“Apakah Ibu akan datang lagi untuk mengajar kami?” Anak itu bertanya persis seperti yang Seno katakan setahun lalu. Ketika itu guru mereka yang hanya datang 2 kali dalam seminggu tidak masuk. Seno dan anak-anak lainnya harus menempuh perjalanan selama satu jam ke sekolah. Setelah melalui duabelas sungai deras dan hutan karet, mereka harus kecewa. Guru mereka tidak muncul. Dan negara ini tidak menyediakan gaji untuk sukarelawan.

Saya tertegun. Bukankah sekolah mereka sudah roboh karena lapuk dan tidak memenuhi syarat jumlah murid?

Tiba-tiba perut saya mual lagi. Saya berlari tak tentu arah. Hanya berlari dan berlari. Kelopak mata saya terasa pedih akibat kurang tidur. Mungkin juga berair karena tangis.

Saya mengumpat. Bapak Tua itu sudah membohongi saya! Mengapa perasaan bersalah, perasaan tidak mampu dan sakit itu masih saya rasakan disini, di dada ini. Dan sekarang wajah-wajah yang menagih janji bermunculan memenuhi kepala saya.

Akhirnya pelarian saya sampai di sebuah ruangan bertanda. Di sebelah kiri bertuliskan “pejuang” dan di sebelah kanan bertuliskan “rasa aman”. Dengan cepat saya berlari ke arah kanan dan anehnya tiba-tiba saja rasa mual itu hilang.

Tubuh saya seakan meluncur ringan ke suatu tempat lainnya. Suatu tempat penuh sesak manusia. Kedatangan saya seolah tidak mereka sadari, tidak berarti apa-apa, atau memang tidak ada yang perduli. Masing-masing hanya diam dengan tatapan kosong. Mereka tidak melakukan apa-apa. Ada yang duduk, ada yang berdiri, ada yang diam seperti suasana jamuan teh, namun tidak ada teh ataupun penganan kecil.

Saya hanya terpaku beberapa menit dan mulai merasa bosan.

Tak lama kemudian terdengar bunyi keras seperti halilintar. Sebuah petunjuk arah kembali muncul, yang satu bertuliskan “pejuang” dan satunya lagi “tidak perduli”.

Tiba-tiba saya berpikir betapa sakitnya berada bersama orang-orang yang tidak melakukan apa-apa ini. Bagaimana dengan tempat yang disebut “tidak perduli”, apakah lebih parah dari tempat ini? Saya tidak ingin mengambil resiko. Mungkin lebih baik merasakan sakit daripada tidak merasakan apa-apa.

Sebelum tanda itu hilang, dengan satu hentakan saya berlari ke arah tanda “pejuang”. Kembali rasa mual, ditambah keletihan melanda tubuh saya.

Saya tidak tahu jam berapa atau sudah berapa lama saya berjalan. Hanya lorong gelap, dingin dan berbau lembab yang saya lalui, menuju suatu tempat. Entah kemana, saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak ingin diam bersama mayat-mayat hidup sebelumnya dan berharap lorong ini segera berakhir.

Akhirnya sebuah pemandangan terang menuntun saya. Seperti yang sudah-sudah, saya menemui dua pilihan pintu yang kali ini berwarna. Yang pertama berwarna hitam dengan tulisan putih “pejuang” (lagi). Yang satunya berwarna putih dengan tulisan hitam “menyerah”.

Saya kelelahan dan ingin tidur. Kegelapan menyelimuti ruangan itu, seperti gelapnya warna pintu di depan saya. Saya yakin jatuh di pintu “pejuang”, karena tempat itu terasa lebih dekat dengan nurani saya.

Pintu hitam terbuka. Bapak Tua berjubah putih didampingi dua orang berpakaian dokter sedang merapikan dan mencopot kabel-kabel dari tubuh seorang perempuan. Pada pakaian seragam mereka tertulis cyber pejuang.com.

Untuk pejuang..yang mendengar suara-suara kecil..suara-suara yang tak terdengar..suara-suara yang tak didengar..suara-suara yang tidak ingin didengar..suara rakyat, suara yang seharusnya diwakilkan.



(caroline pintauli, dikutip dari Kalender Bumi 2000: suara-suara kecil )

-tamat-



Jakarta, 27 Februari 2002

· Direktur Visi-90, memfasilitasi pengembangan media informasi sederhana dan modul pendidikan kritis-partisipatif bagi masyarakat akar rumput.

· Tulisan yang pernah dipublikasikan, Dicari Pahlawan Lingkungan (Opini) dimuat Harian Sinar Harapan 10 Juli 2001, Agreement on Agriculture-Debt Watch Indonesia, Gugatan Kelas-YLKI, panduan investigasi lingkungan dan beberapa seri informasi globalisasi.

No comments:

Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)