Wednesday, January 25, 2006

OPINI DI HARIAN SIB

OPINI 23 APRIL 2003

PEREMPUAN DAN POLITIK

Mau apa sebenarnya perempuan? Itulah pertanyaan yang sering muncul dalam rapat-rapat DPR, baik di ibukota, maupun daerah-daerah, dalam pertemuan-pertemuan kelompok yang dihadiri laki-laki, dalam pertemuan dan diskusi beberapa komponen masyarakat, seperti partai politik, organisasi masyarakat, organisasi pengusaha dan organisasi keagamaan hingga kedai kopi. Timbulnya pertanyaan diatas, sekaligus pula mewakili dan melengkapi jawaban kondisi terpuruk di Indonesia: bahwa perempuan tidak termasuk dalam kelompok yang ‘diperhitungkan” di negara ini.

Keberhasilan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam parlemen- yang berlangsung “alot” hingga akhirnya dicapai keputusan untuk dicantumkan dalam UU Pemilu, hanyalah awal dari pekerjaan rumah yang masih harus ditindaklanjuti ke depan. Meskipun demikian, keputusan kuota 30% masih sering disikapi dengan sinis, dingin dan acuh tak acuh oleh beberapa kelompok masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Alasan yang dikemukakan berkisar tentang kapasitas dan kemampuan perempuan Indonesia, yang umumnya dinilai masih jauh dari harapan, sehingga kelompok ini lebih memilih untuk berpatokan pada sistem yang mengutamakan segi kualitas personal, bukan pada komposisi jumlah perempuan dan laki-laki.

Pertama-tama, ada baiknya kita mengkritisi terlebih dulu, beberapa pertanyaan mendasar yang kerap muncul sebagai respon keterlibatan perempuan dalam politik, yaitu: Mengapa isu politik begitu penting bagi perempuan? Apakah mayoritas warga negara perempuan di Indonesia yang berjumlah 57% ini sudah benar2 dipandang sebagai warga negara atau stake holder di negeri ini? Apakah keterwakilan perempuan dalam politik akan menjamin perbaikan kondisi negeri ini?

Isu politik begitu penting untuk perempuan, tak lain karena perempuan adalah bagian terbesar/mayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping mereka terus menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses pembuatan keputusan!

Secara normatif, tidak ada peraturan perundang-undangan dalam bidang politik yang mendiskriminasi perempuan. Namun dalam kenyataannya tingkat representasi perempuan di badan legislatif pada berbagai tingkatan, termasuk DPRD Tingkat II (kabupaten), DPRD Tingkat I (propinsi) dan DPR RI (nasional) masih sangat rendah, hingga dampaknya dalam kebijakan politik menjadi signifikan.

Di Indonesia jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota DPR hanya 9%, di kursi DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota, jumlah itu jauh lebih kecil lagi. Tidak ada seorang perempuanpun yang menjadi Gubernur di Indonesia dan hanya 5 orang perempuan (1,5%) menjabat sebagai bupati/walikota.

TABEL: PEREMPUAN DALAM LEMBAGA-LEMBAGA POLITIK DI INDONESIA PADA TAHUN 2002

LEMBAGA PEREMPUAN JUMLAH % LAKI-LAKI JUMLAH %

MPR
18 9,2
117 90,8

DPR
44 8,8
455 91,2

MA
7 14,8
40 85,2

BPK
0 0
7 100

DPA
2 4,4
43 95,6

KPU
2 18,1
9 81,9

Gubernur
0 0
30 100

Walikota/Bupati
5 1,5
331 98,5

Eselon IV & III
1,883 7,0
25,110 93,0

HAKIM
536 16,2
2,775 83,8

PTUN
35 23,4
150 76,6


Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2001

Ketika membicarakan keterlibatan perempuan dalam kebijakan dan keputusan politik, kita tidak berbicara tentang perempuan “kelas menengah-atas” yang relatif lebih beruntung dan kurang mendapat masalah, karena tidak punya persoalan meng-akses air bersih, mengakses pangan, kecukupan dalam akses dan peluang kesehatan, ketersediaan gaji untuk membiayai hidup termasuk berekreasi, ketersediaan pembantu rumah tangga dan baby sitter karena kemampuan ekonomi. Akan tetapi kita membicarakan sejumlah besar sekali perempuan petani, nelayan, buruh yang tidak punya akses dan peluang untuk mendapatkan, apalagi menentukan keputusan kredit usaha, perempuan yang menjadi korban pencemaran di daerah industri, perempuan yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang cukup, perempuan yang bersusah payah mendapatkan air bersih demi kesejahteraan keluarga, perempuan kelompok masyarakat adat yang terus tersingkirkan dari tanah mereka, perempuan yang dipaksa mengikuti program KB, perempuan yang jerih payahnya bekerja di sektor domestik tidak dinilai dan dihargai, perempuan yang mengalami kekerasan dan beban ganda dalam rumah tangga, perempuan miskin, perempuan yang diperdagangkan, yang dipaksa melacur karena miskin, perempuan yang dibayar murah, mengalami perlakuan diskrimininasi dalam upah serta eksploitasi lain, baik di dalam dan di luar negeri, berupa pelecehan dan pemerkosaan, para pengungsi perempuan dan anak-anak, jutaan anak perempuan yang tidak mendapat prioritas pendidikan karena keterbatasan ekonomi dan sistim patriarki, serta perempuan yang menderita karena terjebak dalam konflik dan kerusuhan, termasuk perempuan-perempuan yang bahkan tidak berhak menentukan atas tubuhnya sendiri dikarenakan eksploitasi media dan teknologi.

Fakta kepemimpinan presiden yang dijabat oleh seorang perempuan, ternyata tidak menjamin perubahan nasib dan kondisi perempuan di Indonesia, karena perempuan sebagai pejabat pemerintah, yang tidak dilandasi kepekaan gender justru menimbulkan keraguan, tanda tanya bahkan “bumerang” akan kemampuan kepemimpinan perempuan. Dan itu sangat disayangkan. Oleh karena itu, diperlukan jumlah keterlibatan dan partisipasi perempuan yang lebih besar, dengan maksud menimbulkan kesadaran kolektif akan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga diharapkan kesadaran ini akan mengantisipasi perencanaan dalam pembangunan, yang selama ini tidak memperhatikan partisipasi dan dampaknya terhadap perempuan.

Hambatan-hambatan psikologis yang menyingkirkan perempuan dalam ajang politik diantaranya adalah budaya patriarki, subordinasi perempuan dan persepsi terdalam bahwa public domain (wilayah publik) diperuntukkan bagi laki-laki. Bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintah dan bukan antara warga negara dengan pemerintah-walaupun hak-hak perempuan dijamin oleh hukum, retorika politik pemerintahan yang baik dan demokrasi partisipatoris.

Walaupun secara umum kesempatan untuk berorganisasi dibuka secara besar-besaran, namun menurut Khofifah Indar Parawansa[1], perempuan dalam arena politik seringkali menemui tantangan, dikarenakan pada satu pihak perempuan dikondisikan sebagai “ibu” yang seharusnya lebih banyak bersama keluarga, sementara seringkali sudah menjadi kebiasaan, banyak rapat-rapat partai politik diadakan pada malam hingga pagi hari.

Selain itu keterlibatan perempuan seringkali disalahtafsirkan dengan mengupayakan gender balance, dengan menempatkan perempuan sebanyak mungkin dalam suatu organisasi, namun bukan pada posisi kunci (pengambil keputusan)-hanya sebagai kelompok yang menyediakan konsumsi atau mengerjakan tugas-tugas administrasi.

Penggunaan langkah-langkah afirmatif dan kuota, adalah sebagai salah satu cara mendorong partisipasi perempuan dalam politik, yang sekaligus mengupayakan agar perempuan punya kesempatan sama dengan laki-laki untuk dan berani maju dan tampil memperjuangkan kepentingannya dalam arena politik-arena yang selama ini dikonotasikan sebagai dunia laki-laki. Sudah banyak negara di dunia yang berhasil menerapkannya seperti ..

Untuk itu diperlukan kampanye besar-besaran untuk menyadarkan perempuan agar menjadi pemilih yang loyal, pemilih yang cermat, melakukan aksi bersama : hanya akan memilih partai yang di dalamnya terwakili jumlah perempuan 30%.

Kemauan perempuan adalah berjuang merubah kebijakan yang tidak adil, yang selama bertahun-tahun merugikan perempuan, menghapus kebijakan yang menindas perempuan dan merebut posisi-posisi penting untuk ikut menentukan kebijakan negri ini, melalui upaya pengisian kursi-kursi legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Kini peluang itu semakin terbuka dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya melalui program pendidikan dan penyadaran politik, pemberdayaan perempuan, meningkatkan kerjasama antar organisasi perempuan.



Caroline Pintauli Purba
YPSM Bina Insani, tinggal di Pematangsiantar.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ceramah disampaikan pada Seminar: Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah 8 Maret 2003 di Jakarta

No comments:

Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (matius 6:27)

Jika anda tahu bahwa Anda harus menunggu, mengapa tidak memilih untuk menikmati hidup ini sambil Anda menunggu? Mengapa tidak bergembira sementara Tuhan sedang bekerja mengubah sesuatu?

ANTUSIASME 2008

Sungai dan laut bisa merajai ratusan lembah adalah karena mereka lebih rendah dari lembah-lembah-lembah lainnya, maka mereka menjadi pemimpinnya.

sebab itu, kalau ingin mengatasi manusia bicaralah dengan gaya merendah, kalau ingin memimpin manusia, bicaralah dengan gaya seoloah-olah dirimu tertinggal di belakang.

Begitulah orang suci berada di atas tanpa memberatkan manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi manusia lainnya, berada di depan tanpa menghalangi menusia lainnya maka seisi dunia merasa bahagia dan tak bosan mendorongnya.

Karena ia tak bersaing, maka ia tak tersaingi.. (laozi)